Sunday, April 11, 2021

Obrolan Penerjemahan Karya dari bahasa Jerman ke bahasa Indonesia bersama Tiya Hapitiawati

Wawancara di bawah ini, diambil dari Grup Facebook Apresiasi Sastra (APSAS) Indonesia


Tiya Hapitiawati adalah seorang penerjemah dari bahasa Jerman ke bahasa Indonesia. Menyelesaikan pendidikan S1 Sastra Jerman dan S2 Ilmu Linguistik di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Buku terjemahannya antara lain novel “Lelaki Malang, Kenapa Lagi” karya Hans Fallada, novel “Kalut” karya Stefan Zweig, dan novela “Musim Panas Penghabisan” karya Ricarda Huch. Semuanya diterjemahkan langsung dari bahasa Jerman. Saat ini menerjemahkan untuk Penerbit Moooi Pustaka, sebuah penerbit yang didirikan oleh penulis Eka Kurniawan, dan khusus menerbitkan karya-karya sastra terjemahan langsung dari bahasa aslinya.
***
 
Nurel Javissyarqi: “Sebenarnya kondisi badan saya kurang sehat dan ini biasa terjadi, ketika sedang proses menulis, yang diri anggap segejala keabadian (mengabadikan) karya. Sebagai pembuka pertanyaan, saya mengucapkan terima kasih kepada para penerjemah karya bahasa asing / luar negeri ke dalam bahasa Indonesia, khususnya yang dari bangsa / bahasa Jerman, di sisi lain Rusia. Terus terang saya kagum dengan bangsa ini yang sudah banyak melahirkan para pemikir, seniman, hingga tercetusnya Perang Dunia ke II. Ahai diri ini memang tertarik gegaya propagandanya Hitler, lalu Saddam Hussein di sisi berbeda, meski keduanya kalah peperangan, lantaran mereka (Sekutu) beraninya kroyokan. Pertanyaan saya kepada Mbak Tiya Hapitiawati, 1. Apa yang menarik dari orang-orang Jerman, khususnya dari karya-karya yang sudah sampean terjemahkan? 2. Sejak kapan menekuni alam terjemahan? Apakah mulanya dari karya berbahasa Jerman langsung ataukah sudah pernah menerjemahkan karya dari bahasa Inggris? Sementara itu dulu Mbak, nanti dilanjut yang lain, matur suwon sanget...”
 
Tiya Hapitiawati: “Terima kasih Mas Nurel Javissyarqi atas pertanyaannya, dan semoga cepat sembuh, Mas. Terima kasih juga sudah diberi kesempatan menjawab pertanyaan dalam diskusi pada grup ini. Saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda dan teman-teman sebisa saya, ya.
1. Mungkin saya hanya bisa menjawab pendapat tentang orang-orang Jerman dalam kaitannya dengan tokoh-tokoh dalam karya-karya yang saya terjemahkan, ya. Bukan pendapat secara umum apalagi yang dikhawatirkan mengarah pada stereotip tertentu, hehe.
Sejauh ini yang saya terjemahkan merupakan karya2 klasik yang berada (dan berlatar) rentang waktu tahun 1910-an sampai menjelang Perang Dunia II. Moooi Pustaka memang berangkat dari yang klasik terlebih dulu utk karya-karya dari Eropa. Kecenderungan orang-orang pada masa itu sarat dengan tekanan-tekanan sosial dan politik, terutama menjelang naiknya Hitler. Kondisinya memang suram. Hal ini berpengaruh juga pada kehidupan masyarakatnya pada masa itu. Dalam novel "Lelaki Malang, Kenapa Lagi"? karya Hans Fallada, setidaknya kita bisa mendapatkan gambaran hampir utuh tentang kondisi sosial politik pada masa itu, bagaimana rakyat kecil pada masa tersebut berjuang mendapatkan apa yang menjadi hak-hak mereka dan tak memiliki banyak pilihan, ditambah suasana pasca depresi ekonomi yang membuat situasinya semakin parah. Tentu ini berpengaruh pada berbagai segi kehidupan masyarakatnya kala itu.
2. Terjemahan sudah saya tekuni mulai di bangku kuliah. Dulu konsentrasi peminatan saat S1 saya adalah ilmu linguistik, namun menggabungkannya dengan analisis karya terjemahan. Tentang bagaimana unsur2 linguistik dalam satu teks karya sastra (yg dianalisis unsur Partikel Fatis) bahasa Jerman diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa tahun menjalani profesi penerjemah dokumen, lalu mulai menemukan kecintaan menerjemahkan karya sastra (yang dirasa lebih menyenangkan dari segi prosesnya). Sejauh ini saya belum pernah menerjemahkan karya dari bahasa Inggris, selalu dari bahasa Jerman.”
 
Nurel Javissyarqi: “Apakah Mbak Tiya pernah menerjemahkan karya Goethe meski baru beberapa dan belum terbukukan? Walau pun di Tanah Air sudah lumayan banyak yg menerjemahkan karya2nya...”
 
Tiya Hapitiawati: “Belum pernah dan belum ada rencana, Mas Nurel. Beberapa orang sering bertanya jg soal ini, tapi justru kami --Moooi dan saya-- bersepakat tentang satu hal: kami ingin menerjemahkan karya-karya penulis yang belum pernah diterbitkan di Indonesia, ingin pembaca Indonesia tahu bahwa begitu banyak para penulis dan maestro hebat yang gaungnya bahkan belum terdengar di Indonesia padahal sudah sangat lama dielu-elukan di belahan dunia lain, dan tentu saja, diterjemahkan dari bahasa aslinya. Beberapa penulis berbahasa Jerman yg telah kami perkenalkan kemarin -- Fallada, Zweig, dan Huch-- adalah sedikit banyak dari penulis2 yang tak kalah besar dari Johann Wolfgang von Goethe, namun pada zaman yang berbeda. Penulis besar berbahasa Jerman yang karya masterpiece-nya akan kami perkenalkan kemudian adalah Robert Musil dengan karyanya "Manusia Tanpa Kualitas".”
 
Nurel Javissyarqi: “Kerja yg sangat luar biasa Mbak Tiya, karena dg banyaknya karya2 luar negeri / dr belahan dunia berbeda, yg masuk / diterjemahkan k dlm bahasa Indonesia, itu tak sekadar memperkaya pengetahuan, tetapi juga meningkatkan mutu belajar bagi generasi2 akan datang d Tanah Air. Bergetar rasanya... membayangkan 10 atau 20 tahun k depan. Sehat selalu, dan senantiasa tabah dlm pengabdian hidup di alam kepenulisan d negeri Nusantara ini... matur suwon sanget atas jawabannya...”
 
Tiya Hapitiawati: “Demikian pula yang saya harapkan, Mas Nurel. Sama-sama, terima kasih juga.”
 
Dian Sukarno: “Poin penting, awak nggregesi bagian keabadian karya... #catet. Tiya Hapitiawati, untuk njenengan salam kenal dan tabik...”
 
Tiya Hapitiawati: “Salam kenal juga, Pak Dian Sukarno . Terima kasih banyak.”
 
Nurel Javissyarqi: “Mas Dian, itu utk memotivasi nulis sambil mensugesti diri.”
 
Dian Sukarno: “Tak (akan saya : bhs jawa) contoh...”
***
 
Bandi Robin: “Salam pagi. Satu pertanyaan saja. Pernahkah menerjemahkan buku karya penulis Indonesia ke dalam Bahasa Jerman? Terima kasih. Sehat dan sukses.”
 
Tiya Hapitiawati: “Tidak, Mas. Saya tidak vice versa, hanya berbahasa sasaran Bahasa Indonesia saja. Terima kasih juga, sehat selalu.”
 
Bandi Robin: “Oh, oke, dankeschön.”
 
Tiya Hapitiawati: “Bitteschön.”
***
 
Prima Ramdhani: “Terima kasih atas kesempatannya. Izin bertanya:
1. Apakah sebagai penerjemah, Mba Tiya pernah ikut menentukan dan mengajukan naskah yg akan diterbitkan? Atau 100% selalu ketentuan kurator naskah?
2. Dan jika punya kesempatan menentukan naskah yg akan diterbitkan, naskah apa yg akan dipilih Mba Tiya? (Ini sebenarnya mau nanya 1 judul karya fiksi favorit Mba dari kesusastraan Jerman kontemporer).
3. Setelah menerjemahkan karya penulis Jerman dan Austria, apakah menurut Mba Tiya kedua negara tersebut punya tema besar yg sama, yg selalu ditemukan dalam karya2 sastra mereka?
4. Kalau boleh request, pengen request karya2nya Thomas Bernhard sama Wolfgang Hilbig.”
 
Tiya Hapitiawati: “Terima kasih Mas Prima Ramdhani atas pertanyaannya.
1. Ada dua cara penentuan calon naskah yang saya terjemahkan. Pertama, kurator memberikan dua pilihan naskah. Saya diberi waktu untuk membaca kedua naskah tersebut, sedikit riset awal, untuk kemudian menentukan naskah mana yang akan saya pilih untuk diterjemahkan. "Chemistry" antara saya dan naskah amat penting dlm hal ini. Setelah saya memutuskan naskah mana yang akan saya terjemahkan, maka projek naskah tersebut pun dimulai. Cara ini kami lakukan saat hendak menerjemahkan karya Hans Fallada. Saat itu saya diberi 2 pilihan naskah, "Kleiner Mann, was nun?" (Lelaki Malang, Kenapa Lagi?) dan "Der Trinker" (Sang Pemabuk). Saat hendak menerjemahkan karya Ricarda Huch, saya juga diberi 2 pilihan naskah, "Der Letzte Sommer" atau "Der Fall Deruga". Saya pilih yang pertama, karena saat itu projek naskah "Kalut" belum selesai, jadi pilih yang tipis2 dulu hehehe.. Kemudian, cara kedua, mengerjakan naskah yang diminta. Untuk "Kalut" karya Stefan Zweig, saya tidak memilih, memang diminta menerjemahkan judul tsb.
2. Waduh apa ya, kebanyakan hahaha.. Kalau yang klasik Robert Musil udah kesampean Alhamdulillah. Yang kontemporer mungkin karya2 Erpenbeck mungkin yaa hahaha.. semua karyanya saya suka. Semoga kelak ada kesempatan hehe..
3. Hmm... yang tampak menonjol dari keduanya mungkin Zeitgeist, semangat zaman, namun dalam bentuk yg berbeda. Karya2 dari Jerman -- dengan kekayaan sejarahnya dan sebagian besar suram -- banyak mengeksplor kondisi masyarakat yang menampakkan "bekas" sejarah kelam mereka. Pasca PD 2 bahkan hingga saat ini, jejak2 kelam Nazi tampaknya terpatri kuat dan mempengaruhi "ruh" karya2 dari Jerman. Kalau Austria (dalam hal ini yang berlatar Austria-Hongaria) tak sedikit menonjolkan situasi masyarakat borjuis, "pendefinisian" kebudayaan tinggi (yang dekat dengan kehidupan kerajaan, hubungan antar masyarakat borjuis dengan kerajaan dlsb). Di novel Zweig, hubungan semacam ini juga tampak, misal pada kebiasaan2 dan konflik2 yg menyertai tokoh2 keluarga Kekesfalva. Di novel Musil yang sekarang saya sedang garap, aspek2 semacam ini terasa menonjol dan berujung pada kritik-kritik Musil.
4. Nanti yaa, soal ini saya bisikkan dulu ke ketua geng Moooi nya hehehe...”
 
Prima Ramdhani: “Terima kasih Mba, sudah berkenan menjawab. Sukses selalu. Semoga dilancarkan proses penerjemahan mahakarya Robert Musil yg tebal itu dan pembaca Indonesia bisa segera menikmatinya.”
 
Tiya Hapitiawati: “Sama-sama, Mas Prima Ramdhani . Amiin, terima kasih banyak.”
***
 
Cak Bono: “Kesulitan apa yang sering muncul dan paling beresiko ketika proses menerjemahkan Bhs Jerman ke Bhs Indonesia.”
 
Tiya Hapitiawati: “Kesulitan bergantung pada naskah yang diterjemahkan. Pada karya klasik atau klasik modern, misalnya, kesulitan yg paling sering muncul antara lain terdapatnya beberapa kosakata yang sudah tidak dipergunakan pada saat ini, sehingga memerlukan riset pustaka yang lebih mendalam. Kalimat-kalimat pada karya klasik juga cenderung lebih panjang dibandingkan karya2 kontemporer (satu kalimat ada yang sampai memiliki 3-4 anak kalimat panjang), sehingga dibutuhkan fokus/konsentrasi dan kesabaran tinggi.”
 
Cak Bono: “Selain faktor intern pada tubuh teks, kira-kira apa juga membatasi diri pada thema tertentu, atau apakah pernah merasakan pengalaman dalam menerjemahkan karya yang kontroversial dan beresiko untuk menjadi polemik negatif, bahkan berpotensi menuai penolakan.”
 
Tiya Hapitiawati: “Tentu tidak membatasi pada tema tertentu, tetapi saat ini kami -- Moooi Pustaka dan saya -- tengah memprioritaskan penerjemahan karya-karya klasik/modern klasik terlebih dahulu, khususnya untuk karya2 dari wilayah Eropa, termasuk yang berbahasa Jerman. Fokus saat ini jg masih ingin memperkenalkan para penulis yang karya-karyanya belum pernah diterbitkan, belum pernah diterjemahkan dari bahasa aslinya, ataupun yang nyaris belum pernah terdengar namanya oleh para pembaca Indonesia. Ke depannya, tak menutup kemungkinan akan menerjemahkan karya2 kontemporer yang temanya mengangkat isu2 global saat ini.”
***
 
Sigit Susanto: “Aku ingin tanya ya Tiya Hapitiawati 1) Bisa diungkapkan, bagaimana gemuruh rasa dari penerjemah dokumen ke sastra? 2) Bisa sedikit cerita masa kuliah di jurusan bhs Jerman ttg pembahasan sastrawan Jerman, terutama Kafka, aku dengar di kampus lain, karya Kafka sengaja dihindari dibahas (Maaf, karena aku pencinta karyanya) 3) Kira2 faktor apa yang menjadikan sebagian besar lulusan bhs Jerman lebih memilih menjadi pekerja non penerjemah sastra? 4) Bagaimana proses terjemahan, apakah kamu juga pakai pembanding versi bhs Inggris, misalnya 5) Bagaimana proses kerja editing dgn penerbit yg tentu mungkin menggunakan pembanding teks Inggris? itu saja ya...dah banyak...maaf.”
 
Tiya Hapitiawati: “Terima kasih Pak Sigit pertanyaannya.
1. Hampir tak terungkapkan dan sangat jauh berbeda. Biasanya hanya sekadar berupa frasa2 atau klausa2 yang biasanya sudah ada padanan bakunya, ya. Saat menerjemahkan karya sastra waaah... ilmu linguistik yang saya pernah dapat selama kuliah kok rasanya keluar semua, saya jadikan "alat" saat proses penerjemahan, tentu dengan tidak menjadikannya batasan yg bisa membuat terjemahan saya kaku nantinya (karena kalau mengikuti semua pakem2 linguistik harus sesetia mungkin).
2. Kafka saya dapat kok waktu kuliah kesusastraan Jerman, sekitar semester 4 kalau gak salah, gak dihindari sih kalau di kampusku. Kuliah wajib. Dulu analisis teks Der Prozeß tapi --karena kendala waktu-- hanya sampai sekitar bab awal dan jika ingin lebih mendalam bisa menjadikannya konsentrasi di akhir kuliah. Kami hanya menelisik tentang isi teks dan aspek2 di luar teks, tentang setting cerita dan biografi Kafka sendiri. Saya saat itu anak linguistik dan langsung ke arah penerjemahan, menjadikan lingustik utk "membedah" aspek bahasa dlm kesusastraan Jerman. Selain Kafka, kami juga mempelajari penulis2 lain, baik klasik, modern klasik, sampai kontemporer.
3. Kalau dari yang sejauh ini saya amati, mungkin kembali lagi ke persoalan permintaan di industri perbukuan/penerbitan kita. Singkatnya, jarangnya penerbit yang menerjemahkan karya2 luar dari bahasa aslinya, sehingga berbanding lurus dengan persoalan karier para penerjemah sastra itu sendiri, semacam merasa tak dibutuhkan mungkin (??). Ini terus berputar2. Penerbit bilang sulit dapat penerjemah bhs aslinya, calon2 lulusan sastra bilang sulit dapat penerbit yang mau menerjemahkan selain dr bhs Inggris. Ini mungkin makin pelik jika "disandingkan" dengan persoalan penghasilan. Dari segi tsb, jelas dokumen lebih menjanjikan.
4. Biasanya saya selesaikan dulu sampai akhir terjemahan saya, lalu saat sudah menjelang tahap editing, baru saya lihat versi Inggris. Ini untuk menghindari bias, karena menurut saya berbahaya, jika menganggap versi Inggris sbg versi "mahabenar" apalagi dijadikan standar. Soal ini, saya bahkan sering menemukan kesalahan penerjemahan di versi Inggris. Satu contoh menarik, di novela Ricarda Huch kemarin. Ada kata "Putzmacherin" diterjemahkan menjadi "Maid" di versi Inggris (mungkin merujuk pada kata "putzen" yang bermakna bersih2 rumah). Padahal, "Putzmacherin" adalah sebutan bagi orang yang berprofesi sebagai desainer topi lebar -- istilah yang berkembang di Jerman sampai sekitar tahun 1930an.
5. Seringkali saya dan editor berdiskusi panjang jika ada perbedaan. Editor bertanya apakah saya tipe penerjemah yang setia atau tidak? Setelah saya menjawab bahwa sebisa mungkin saya setia, padanan makna mesti se-ekuivalen mungkin, namun tak boleh sampai kaku dan tak enak dibaca. Kalau sudah demikian, editor dari penerbit hanya mengoreksi penggunaan kalimat, koherensi teks, dan aspek2 linguistik bahasa Indonesia, juga tentu membandingkannya dengan versi Inggrisnya.”
 
Sigit Susanto: “Terima kasih banyak Tiya Hapitiawati.”
 
Tiya Hapitiawati: “Sama-sama Pak Sigit.”
***
 
Sigit Susanto: “Tiya Hapitiawati, menurutku kelebihan menerjemahkan karya sastra dari bahasa Jerman ke bahasa kita, yakni 1) Subjek hirarkis yang sama antara Sie untuk Anda dan Du untuk kamu, sementara jika karya dari bhs Jerman diterjemahkan ke dlm bhs Inggris, antara Sie dan Du menjadi YOU, jika dari teks Jerman ke Inggris dan ke Indonesia, maka akan terjadi distorsi yang cukup signifikan. 2) Jumlah peraih nobel sastra Jerman yang cukup tinggi di Eropa, saharusnya lebih banyak karya babon pilihan nobel itu bisa diindonesiakan, seperti Buddenbrooks-nya Thomas Mann dan Die Blecktrommelnya Grass. Iwan Simatupang dalam esainya sebut, tulislah yang belum ditulis Heinrich Böll, Tapi bagaimana menulis yang belum ditulis Böll, kalau karya Böll sendiri belum pernah diterjemahkan ke bhs kita? Menurutmu, sisi apa positifnya menerjemahkan dari bhs Jerman. Biasanya penerjemah juga ingin mencuri teknik penulisan sastrawan yang karyanya diterjemahkan utk mencoba menulis sendiri und bei dir? Danke.”
 
Tiya Hapitiawati: “Betul, Pak. Tentang bentuk kata sapaan (Anredeform), ini sudah menarik perhatian para linguis yg mendalami bhs Jerman sejak lama. Akhir thn 60an menjadi momentum awal untuk gencarnya penelitian tentang ini (seiring berkembangnya ilmu pragmatik dan sosiolinguistik). Anredeform (bentuk kata sapaan) dalam sistem dan aturan sosialnya dlm bhs Jerman mengalami banyak perubahan. Salah satunya: melihat Sie dan Du tak lagi sebatas hierarki dlm status sosial atau kedekatan personal (meski kedua variabel ini posisinya masih kuat). Tapi juga ada variabel lain: situasi. Ada pula Sie yang difungsikan sbg Zwischenform + Vornamen, yakni utk menandai bahwa sebuah ujaran ditujukan agar tak terlalu formal dan tak terlalu lancang. Nah, inilah yg membuat saya kemudian memutuskan bahwa menerjemahkan Sie dan Du tak serta merta menerjemahkan Anda dan Kamu. Tapi mesti melihat variabel lain: situasi keformalan dan kedekatan personal. Penanda linguistis yg paling sering muncul utk situasi adalah penggunaan partikel fatis. Ini sejatinya memudahkan penerjemah utk mengidentifikasi situasi dan formal atau tidaknya hubungan tokoh dlm sebuah ujaran. Saya pribadi senang menggunakan kata "kau", untuk situasi tertentu, apalagi yg sudah menunjukkan kedekatan pribadi antar tokoh dan situasi nonformal (meski tetap aslinya menggunakan Sie). Saya menggunakan padanan Anda untuk bentuk Sie yg memang "jarak personal" nya sulit diganggu gugat, misal Sie yg diikuti jabatan dan hubungan personal antar tokoh yang benar2 berjarak, karena belum terlalu kenal. Terkadang, jika tetap berpatokan pada Anda dan Kamu, penanda situasi menjadi sulit terpadankan dg baik (misal kalimat yang menggunakan Sie yang justru mengandung kata makian). Saya ingin sebisa mungkin mencoba membawa karya2 klasik nan babon yang berbahasa Jerman itu senyaman mungkin dibaca oleh pembaca Indonesia, namun tetap seekuivalen mungkin dalam segi makna, meski ada hal2 yg sedikit banyak "diakali", salah satunya pemadanan Sie. Yang penting tidak bias dan untuk yang sifatnya hierarki sosial apalagi jabatan, mau tak mau tetap pakai "Anda".
2. Betul, sebab itulah Moooi memulai langkah untuk menerjemahkan buku2 penting/babon semacam itu. Thomas Mann sudah ada dalam list, tapi nunggu selesai Musil pastinya hehehe... Kalau untuk menulis apalagi "mencuri teknik" saya belum ada rencana, kalau dalam waktu dekat sih, Pak. Danke.”
 
Sigit Susanto: “Mungkin secara teori begitu, penggunaan Sie dan Du tidak lagi menjadi baku sekali. Tapi untuk kasus Kafka, kukira agak beda. Kafka dengan pacarnya Milena, Felice Bauer selalu menulis dengan per Sie. Ini mungkin faktor psikologi Kafka yang sering gagal menjalin cinta. Pada Der Prozess, yang pakai bentuk Ich-Form, tiba2 menjadi Er-Form, kok bisa senekat itu Kafka? Ternyata Ich menjadi Er itu dalam narasi erotik, yang Kafka tidak tega diri sendiri sbg tokoh aku, maka ia ubah menjadi dia. Hal lain pengalamanku di lapangan di sini, aku saat kerja di pabrik elektronik, 2 tahun bicara dengan pimpinan per Sie, begitu berjarak dan memang kayak dimanfaatkan adat hirarkis kultural ke dalam atmosfer kerja. Setelah 2 tahun baru bicara per Du.”
 
Tiya Hapitiawati: “Nah iya Pak ini menarik. Itulah unik dan luar biasanya Kafka ya. Yang ich-form jadi er-form juga awalnya saya bingung pas pertama baca dulu, tapi ternyata dibolak-balik halamannya memang ganti form, situasi psikologis Kafka sangat kuat dan menentukan dlm setiap ujarannya. Gagal dalam cinta membuatnya ingin mengambil jarak dg wanita2 yg baru dikenalnya dan semua pakai sapaan Sie.
Wah iya, apalagi dengan pimpinan yang hierarkis seperti itu ya Pak, pasti kaku dan berjarak. Lumayan lama juga akrabnya sampai bisa jadi Du.”
***
 
Karya-karya terjemahan Tiya Hapitiawati, dan yang masih dalam proses terjemahan:
 



http://sastra-indonesia.com/2021/03/obrolan-penerjemahan-karya-dari-bahasa-jerman-ke-bahasa-indonesia-bersama-tiya-hapitiawati/

No comments:

Post a Comment