Wawancara di bawah ini, diambil dari Grup Facebook Apresiasi Sastra (APSAS)
Indonesia
Sabine Müller, Köln: Penerjemah lepas (Indonesia-Jerman, Inggris-Jerman) dan
redaktur, anggota VDÜ (Asosiasi Penerjemah Literaris Jerman), lulusan jurusan
Antropologi Budaya, Malaiologi dan Sosiologi di Universitas Köln. Sabine pernah
menetap di Bandung dan Jakarta, antara lain sebagai pengajar bahasa,
koordinator program Goethe-Institut, juga di bidang humas. Sabine telah
menerjemahkan sejumlah novel, karya teater, cerpen dan puisi dari bahasa
Indonesia ke bahasa Jerman.
***
Nurel Javissyarqi: “Mendekati waktu sepertiga malam WIB (Waktu Indonesia
bagian Barat), tepatnya di daerah Lamongan, Jawa Timur, tempat saya berada
sekarang. Sedang turun hujan kadang rintik juga menderas dan kini mendekati
reda; Salam kenal Mbakyu Sabine, terima kasih atas waktu yang diberikan pada
grup facebook APSAS (Apresiasi Sastra) dalam 2 minggu dari saat ini ke depan,
lewat obrolan soal proses menerjemahkan karya dari bahasa Indonesia ke bahasa
Jerman, dan dari bahasa Inggris ke bahasa Jerman. Karena saya baru mengenal
Mbakyu di facebook (fb), maka rasa penasaran timbul tiba-tiba, dan yang menjadi
pertanyaan atas itu, 1. Sejak usia berapa tahun, Mbakyu Sabine mengenal nama
Indonesia, lalu menyukai kebudayaan Nusantara, hingga karya-karya para
pengarang di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ini? 2. Dibanding
karya-karya dari negara lain, dengan karya dari manusia-manusia Indonesia yang
sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman, jika dihitung, ada berapa persen yang
dari Indonesia? 3. Apakah karya-karya para pengarang Indonesia, cukup mampu
bersaing dengan karya-karya dari negara lain, ketika masuk (diterjemahkan) dalam
bahasa Jerman, khususnya yang telah mbakyu terjemahkan? Sementara itu, nanti
dilanjut yang lain, terima kasih sangat...”
Sabine Müller: “Selamat Pagi Mas Nurel Javissyarqi dan teman-teman di grup
Apresiasi Sastra ini. Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih banyak
atas kesempatan yang sudah diberikan kepada saya untuk mengeshare pengalaman
soal penerjemahan di grup ini! Salam kenal teman-teman dan salam hangat dari
Köln buat semuanya.”
“Terima kasih, Mas Nurel, untuk pertanyaannya yang menarik. Untuk
pertanyaan 1.: Kalau "nama Indonesia"...ah, saya ingat,... kakekku
punya sebuah buku atlas dengan gambar-gambar yang indah. Di situ ada juga peta
kepulauan Indonesia dengan gambar-gambar rimba, becak, warung dan kain batik.
Mungkin saya baru lima tahun kira2 dan suka sekali melihat gambar-gambar itu.
Di sekolah tentu saja nama Indonesia seringkali muncul. Tetapi saya "jatuh
cinta" dengan Indonesia dan kekayaan budaya di negara yang jauh dari Eropa
itu, ketika saya bersama sahabatku berliburan di Indonesia (Sumatra, Java
Tengah) pada tahun 1990. Bukan yang "eksotis" membuat saya tertarik
pada Indonsia, tetapi kebudayaan dan keanekaragamannya. Lalu saya ambil
keputusan untuk ikut kuliah di jurusan Malaiologi di Universitas Köln, berkesempatan
untuk belajar bahasa Indonesia, sastra Indonesia di alma mater itu dan juga di
UGM Yogya selama setahun. Setelah lulus saya ingin bekerja di Indonesian
sebagai pengajar bahasa. Di Bandung dan di Jakarta saya diberi kesempatan juga
untuk bekerja untuk Goethe-Institut di bidang program dan humas (secara lepas).
Saya sangat beruntung masih ada ikatan erat dengan teman-teman di Bandung dan
Jakarta. Dan juga karena bisa menerjemahkan karya-karya penulis Indonesia.”
“Na, itu membawa kita ke pertanyaan 2 Mas Nurel: Sayang sekali, kalau
dibanding dengan penulis-penulis dari negara lain, bagian karya-karya pengarang
Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman sedikit sekali.
Bahkan setelah kehadiran Indonesia di pameran buku Frankfurt tahun 2015 sebagai
tamu kehormatan, situasi itu tidak berubah. Kayaknya penerbitan2 Jerman masih
ragu-ragu untuk memilih karya2 sastra dari Indonesia. Bersama teman-teman di
sini kita berusaha untuk mempertinggi minat para penerbit supaya lebih banyak
karya sastra dari Indonesia akan diterjemahkan ke dalam bhs Jerman, dan
ditawarkan kepada kalangan pembaca di negara yang berbahasa Jerman. (Maaf,
kalau persen saya belum tahu, tetapi akan saya cek. Buku-buku yang aslinya
berbahasa Indonesia di pasar buku di Jerman tidak banyak, belum seratus biji
saya kira). Saya langsung ke pertanyaan No. 3 dari Mas Nurel: Situasi ini,
menurut saya, sama sekali tidak berhubungan dengan kualitas karya-karya
penulis2 Indonesia. Sastra Indonesia kaya sekali dan sangat beranekarama.
Tema-tema yang dibahas para pengarang sangat menarik, bervariatif, begitu juga
gaya menulis dan pendekatan literaris mereka. Untuk saya, sastra Indonesia
adalah sumber tak ada habis-habisnya.”
Nurel Javissyarqi: “Terima kasih Mbakyu Sabine atas jawabannya yang sangat
baik, menarik juga cantik, matur suwon sanget...”
***
Sigit Susanto: “Hello Sabine, aku senang kamu bisa berada di Apsas sini,
membagi pengalaman sebagai penerjemah yang istimewa, karena bukan dari bahasa
asing ke bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jerman,
khususnya. Pertanyaanku 1). Bagaimana proses kamu mendapatkan tugas
penerjemahan karya dari Indonesia itu: apakah dari penerbitnya di Indonesia
atau di Jerman, dari pengarangnya sendiri atau kamu sendiri yang memberi rekomendasi
ke penerbit baik di Indonesia maupun di Jerman? 2). Kesulitan apa yang paling
dirasakan dan bagaimana cara mengatasinya, misalkan bertemu subjek Dia/Ia, yang
tidak berkelamin jelas, bisa lelaki atau perempuan. Mengingat dalam bahasa
Jerman ada Er/She atau he/she dalam bhs Inggris. 3) Menurutmu apa barier
terbesar, karya-karya kita di Indonesia sulit menyeberang ke bahasa Jerman,
khususnya? 4). Aku pernah baca di media, bahwa di Beijing ada penerbitan karya
bhs Jerman dari pengarang China dan di India ada penerbit Oxford yang
menerbitkan karya pengarang India, apakah Indonesia perlu adanya berdiri
penerbit dari bahasa asing, sehingga sirkulasinya akan lebih mudah ke pembaca
Eropa? Terima kasih, jawab kapan saja luang waktu. ya.”
Sabine Müller: “Terima kasih banyak, Kang Sigit! Bulan Desember dan Januari
lalu saya sempat ikut acara Translators Forum Internasional yang diorganisir
secara daring oleh Frankfurt Bookfair. Yang sangat menarik buatku adalah
diskusi tentang tantangan macam apa yang dihadapi penerjemah di berbagai
negara. Ternyata kebanyakan penerjemah yang ikut forum itu menghadapi kesulitan
yang kurang-lebih sama, padahal mereka berasal dan bekerja di negara2 yang
berbeda dan dimana situasi pasar buku masing2 berbeda. Salah satu kesulitan
adalah bagaimana seorang penerjemah bisa mendapat proyek yang menarik. Seperti
sudah kusebut di atas, penerbit2 Jerman sepertinya masih ragu2 untuk
menerbitkan karya sastra Indonesia. Jadi, saya berusaha untuk membangun
minatnya dengan memilih sebuah karya sastra, membuat ekspose tentang isinya dan
penulisnya, juga soal konteks sosial/budaya/historisnya, serta contoh
terjemahan. Itu cukup sulit dan menuntut riset dan waktu untuk mengerjakannya.
Kadang2 rekomendasiku berhasil untuk menarik perhatian dan penerbitnya memberi
tugas penerjemahan. Kadang2 penerbit menawarkan proyek dan minta contoh
terjemahan.”
“Untuk pertanyaan 2. Iya betul, ada macam2 kesulitan berkaitan dengan
Struktur bahasa. Subyek orang ketiga tunggal memang merupakan jebak. Di bhs
Jerman Kita dipaksa untuk memilih kelamin tata bahasa yang jelas. Dan kita
punya 3 kata, pronoun, yaitu er, sie es. Kesulitan lainnya adalah strata
sosial. Di bahasa Jerman kita tidak kenal Mas/Mbak, Adik, Ceh, Teh, Bung,
Kang,... Tetapi seringkali itu penting untuk sebagian cerita, karena misalnya
perbedaan tingkat sosial ingin digarisbawahi oleh sang penulis. Kalau begitu saya
misal coba tetap pakai kata itu dan memberi keterangan di glossar.”
“Kalau pertanyaan 3. Itu memang sangat menarik. Dan mungkin kawan2 di grup
ini ingin ngeshare pengalamannya juga. Menurutku setiap kalangan bahasa, setiap
kalangan budaya memiliki sifat/karakter yang khas. Dan kita selalu cari untuk
menerjemahkannya, tidak hanya berkaitan dengan bahasa. Bapakku misalnya sudah
berumur 85 tahun, dan realitas kehidupannya sangat berbeda dengan realitas
hidup anak baptisku yang baru 20 tahun. Padahal mereka punya bahasa ibu yang
sama, mereka mengalami barier cukup besar kalau berkomunikasi. Jadi, saya
merasa kita selalu musti sadar bahwa di setiap komunikasi ada barier, dan
sastra adalah komunikasi, dan sebuah terjemahan berusaha untuk penjembatannya.”
“Pertanyaan 4. Menurutku kerja sama dan jaringan erat antara penerbit,
penulis, perjemah, ahli sastra, toko buku... sampai pembaca itu yang penting. Kalau
penerbit Indonesia yang berbasis di Jerman...mh mungkin bagus. Tapi saya kurang
tahu latar belakang penerbit Oxford di india. Terimah kasih, Kang Sigit, sudah
menyentuh topik itu.”
***
Cak Bono: “Salam kenal Mbak Sabine Müller, poin apa yang menarik dari buku
sastra Indonesia terutama dari kacamata pembaca Eropa?
Apa kira-kira yang diharapkan oleh pembaca sastra Eropa dari karya sastra
Indonesia?
Apa buku sastra Indonesia yang dianggap Mbak Sabine sebagai karya sastra
terbaik Indonesia?
Menurut sampeyan, bagaimana perkembangan buku sastra Indonesia mutakhir
beserta peluangnya untuk menarik perhatian pembaca dunia dan memperoleh
pengakuan Internasional?
Buku dan pengalaman terberat apa yang pernah dialami dalam menerjemahkan
karya berbahasa Indonesia? Terimakasih.”
Sabine Müller: “Salam kenal kembali, Cak Bono, dan terima kasih banyak
pertanyaannya. Memang acara ini sangat menarik untuk saya, karena membuat pikir
ulang dan memperhatikan isu-isu proses penerjemahaan dari perspektif baru.
Terima kasih banyak, kawan-kawan di grup ini.”
“Kalau pertanyaan 1 yang di-post oleh Cak Bono, saya hanya bisa menjawab
dari pengalaman pribadi. Menurutku banyak hal yang sangat menarik dan terutama
relevan untuk diketahui dari Indonesia, sejarahnya, sejarah kolonialnya dan
dampaknya, perkembangan politisnya, budaya,... Saya pikir sastra adalah medium
yang bagus untuk membawa topik-topik yang relevan dan untuk membahas
faset-fasetnya serta untuk membuka ruang perdebatan luas. Padahal Indonesia
adalah negara yang cukup besar dan ada hubungan dengan sejarah Erope (juga
Jerman), apa yang terjadi di Indonesia jarang sekali muncul di berita Jerman
misalnya. Karya sastra bisa menarik perhatian dan membangun pengetahuan,
kesadaran dan pengertian untuk apa yang terjadi di Indonesia - di masa lampau,
sekarang dan juga masa depannya. Saya berharap bahwa orang Jerman/Eropa jadi
ingin tahu tentang faset-faset yang berhungungan dengan itu.”
“Dunia sastra Indonesia sangat amat dinamis. Karya-karya klasik, menurutku
mampu mendunia (selain karya2 Pak Pram), tetapi juga banyak karya
"modern". Penulis-penulis "muda" muncul dan berani untuk
secara literaris mendiskusikan topik-topik relevan. Dunia sastra Indonesia
buatku adalah dunia luas dengan banyak mutiara yang juga belum ditemukan dan diperlihatkan
kepada kaum pembaca internasional. (mungkin itu untuk pertanyaan 2&3).”
“Pengalaman berat... Memang setiap karya sastra (Indonesia) kuanggap
sebagai "orang yang belum kukenal" tetapi yang akan hidup bersamaku
dari hari pertama proses penerjemahannya. Seperti halnya dengan orang yang kita
belum kenal tetapi ingin jadi akrab, kita musti berhati-hati dengan apa yang
dikatakannya. Tidak hanya dengan apa yang dikatakannya, tetapi juga dengan apa
yang disampaikan secara tidak langsung (di antara kata-kata). Saya selalu
berusaha untuk menemukan referensi-referensi yang buat orang dari kalangan
budaya lain tidak jelas dan mudah ditemukan. Dan saya takut tidak berhasil
untuk melihat dan memahami referensi itu. Jadi, itu yang paling berat dan itu
terjadi pada setiap karya sastra. Saya sangat beruntung kalau sang penulis
masih hidup dan berkenan untuk membantuku. Jadi saya suka "menganggu"
penulis dengan pertanyaan2 banyak.”
“Tambahan singkat: Riset (sejarah, konteks sosialnya, politisnya...) selalu
menjadi bagian besar dalam proses penerjemahannya.”
Cak Bono: “Sabine Müller, terimakasih atas jawabannya dan wawasan yang juga
menyinggung proses alih bahasa. Seandainya diminta menyebut satu judul buku dan
penulisnya, kira-kira buku sastra Indonesia apa yang paling menarik menurut
sampeyan?”
Sabine Müller: “Cak Bono...kalau jujur, di atas saya coba untuk tidak
menyebut judul tertentu. Tetapi seaindainya diminta...ya mungkin saya akan
memilih trilogi Pak Pram.”
Cak Bono: “Ya tentu saja, Trilogi Pram memang buku bagus.”
***
Sasti Gotama: “Salam kenal, Mbak Sabine Müller. Senang sekali saya bisa
membaca hasil diskusi di atas yang menurut saya sangat menarik. Saya pernah
mendengar, bahwa jika buku diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka
"aroma" buku itu bisa berkurang sangat banyak. Misalnya buku
Yasunari, ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, lalu diterjemahkan lagi
ke dalam bahasa Indonesia, maka "aroma" Jepangnya banyak yang
berkurang. Beberapa teks tidak bisa diadaptasi dengan baik dalam bahasa lain.
Kadang tidak ditemukan padanan katanya. Menurut Mbak Sabine, bagaimana kita
mengatasi masalah itu agar "aroma" asli buku itu tetap terjaga?
Terima kasih.”
Sabine Müller: “Salam kenal, Mbak Sasti Gotama, dan terima kasih banyak
perhatiannya. Menurutku betul sekali apa yang Mbak katakan di atas.
"Aroma" buku, nuansa konteks latar belakang dari sebuah karya
literaris bisa berkurang jika dialihbahasakan. Apalagi jika buku itu
diterjemahkan ke dalam bahasa asing lalu hasil terjemahannya diterjemahkan lagi
ke dalam bahasa ketiga. Saya kira, sebuah karya literaris sebaiknya
diterjemahkan dari versi aslinya. Pengetahuan dan riset tertentu diperlukan
untuk berusaha mengetransfer eks dan nuansa-nuansa sebaik mungkin. Komunikasi
erat dengan penulis dan/atau ahli bahasa dan sastra bahasa aslinya itu optimal
untuk proses penerjemahan. Kita sebagai penerjemah tidak hanya berusaha untuk
mengalihbahasakan teks yang terdiri dari kata-kata, tetapi juga berusaha untuk
merasakan jejak darah, air mata dan keringat sang penulis.”
Sasti Gotama: “Terima kasih atas jawabannya, Mbak Sabine.”
Nurel Javissyarqi: “Terima kasih Sasti Gotama, sudah mampir kemari, suwon
sanget...”
Sasti Gotama: “Saya yang berterima kasih, Mas. Maturnuwun juga sudah
menghadirkan penerjemah yang keren seperti Mbak Sabine.”
***
Sigit Susanto: “Pertanyaan terakhirku buat Sabine Müller: 1). Apakah Sabine
sekarang sedang menerjemahkan karya pengarang Indonesia ke dalam bahasa Jerman
atau sedang mencari-cari calon karya? 2). Di Eropa, khususnya di Swiss yang kutahu,
ada lembaga yang memberi apresiasi para penerjemah dengan memberikan semacam
award dan penghargaan dana cukup besar, kayaknya di Indonesia belum ada, apakah
ini merupakan titik lemah dalam dunia terjemahan kita? 3). Bagaimana menurutmu,
seandainya Indonesia dijajah oleh bangsa Inggris, Spanyol atau Prancis, apakah
karya kita akan lebih mudah aksesnya ke pembaca dunia, mengingat koloni 3
negara di atas, karyanya lebih mudah go internasional? 4). Pengalamanku
menghadiri acara sastra di perpustakaan atau toko buku di Swiss, kebanyakan
yang hadir orang tua-tua, sebaliknya acara serupa di Indonesia didominasi anak
muda dengan gegap gempita, kira-kira apa alasannya? Anak-anak muda kita ini
juga nanti akan tua dan semoga tetap menyukai sastra, sehingga generasi ke
depan akan menyaksikan komposisi tua muda dalam acara sastra. Terima kasih
banyak.”
Sabine Müller: “Hallo Kang dan teman-teman di forum ini. Terima kasih untuk
pertanyaan babak kedua dari Kang Sigit. Jawaban singkatku untuk pertanyaan No
1: Sayang sekali sekarang belum ada tugas dari penerbit Jerman untuk proyek
penerjemahan, tetapi saya berharap bahwa pada musim kemarau tahun ini akan ada.
Saya lagi membaca ulang sebuah novel dari seorang penulis Indonesia muda yang
sangat menarik. Setelah dibaca untuk ketiga kalinya saya akan membuat expose yang
bisa ditawarkan kepada penerbit. Kalau berhasil saya ingin share dengan kalian
semua judulnya dan jika teman-teman berminat juga pengalamanku dalam proses
penerjemahannya. Untuk pertanyaan No 2: Ya betul, di Eropa ada berbagai
penghargaan khusus untuk penerjemah. Beberapa organisasi, lembaga, asosiasi
sastra memberikan macam-macam penghargaan. Ada yang "kecil" dan ada
yang penting sekali yang membuat sang penerjemah yang mendapatkannya sangat kelihatan
di dunia sastra. Menurutku tradisi memberi penghargaan untuk kerjaan yang
relevan dan apalagi yang jarang kelihatan di publik itu sangat penting. Sang
penerjemah tidak hanya merasa dihargai tetapi kalangan penerjemah dan sastra
menjadi bagian dari masyarakat yang dilihat, dihargai dan yang kontribusinya
penting.”
“Pertanyaan No 3 itu memang sudah masuk daerah politik. Kalau kita misalnya
melihat sebentar Pameran Buku Frankfurt. Dua atau tiga tahu yang lalu, Perancis
menjadi tamu kehormatannya. Yang diundang untuk hadir dan yang karyanya
dipamerkan di FBM itu tidak hanya penulis-penulis yang berasal dari negara
Perancis, melainkan juga penulis dari negara yang dulu dijajah oleh Perancis.
Yang sangat menganggu, menurutku, adalah fakta bahwa hanya sedikit penulis dari
negara-negara lain diundang (negara Afrika yang frankofon, Haiti, Kanada,...).
Apalagi karya-karya yang ditulis oleh penulis di luar Perancis seringkali
membahas tema-tema eksotis. Misalnya penulis Louis-Philippe Delambert yang
berasal dari Haiti waktu itu mengatakan bahwa tema-tema "yang laku"
untuk dia sebagai penulis yang menulis dalam bahasa Perancis adalah tema
semacam Vodoo, dll. Itu sering terjadi. Penulis-penulis yang berasal dari
negara yang dulu dijajah (oleh siapapun) jarang sekali boleh punya suara
sendiri untuk "go international". Mereka sering terpaksa untuk
memenuhi request pasaran, yaitu dengan menulis tentang hal-hal yang klise. Saya
kira, bagus kalau tema-tema kolonialisme dibahas di kalangan sastra dan di
publik untuk mengatasi diskriminasi itu. Penulis-penulis di Indonesia (juga di
negara-negara lain) punya suara sendiri dan perlu didengarkan.”
“Pertanyaan No 4 membuatku tersenyum. Betul sekali Kang Sigit. Alasannya
saya tidak tahu. Dulu memang sastra Jerman dan sastra pada umumnya sangat
dihargai di Jerman, terutama di kalangan interlektual. Pendidikan tinggi selalu
mengandung belajar tentang penulis-penulis internasional yang dianggap penting,
karya-karya puisi, novel, teater, dll. Di sekolah dasar pun anak-anak dididik
untuk menulis sendiri. Mungkin hari ini, anak muda lebih tertarik pada medium
lain: film, musik... Namun, dalam beberapa tahun terakhir kita bisa melihat
bahwa banyak anak muda muncul lagi di acara-acara sastra. Seni puisi mengalami
"high" sekarang. Saya senang melihatnya. Dulu banyak acara-acara di
toko buku mungkin lebih pas untuk orang "dewasa" (usia 50 tahun ke
atas) dan mungkin agak membosankan untuk anak muda. Bagus kalau kita terbuka
untuk belajar dari anak muda: apa yang menarik buat mereka, tema-tema apa yang
ingin dibahas dan juga bentuk acara yang bisa mengundang banyak orang.”
Sigit Susanto: “Terima kasih banyak, Sabine Müller telah menjawab
pertanyaan-pertanyaanku dengan sangat jelas dan memuaskan. Aku nantikan hasil
ekspose novel dari pengarang Indonesia ke penerbit Jerman ya, eh siapa tahu ada
karya dari teman-teman Apsas ini mungkin memikat Sabine Müller untuk dibaca,
kemudian diterjemahkan.”
Sabine Müller: “Dengan senang hati saya tukar pengalaman dan berita baru
soal sastra Indonesia di Jerman dengan teman-teman di forum ini.”
Sigit Susanto: “Terima kasih banyak Sabine Müller atas sharing
pengalamannya, tetap di Apsas ya dan jangan ragu berbagi perjuanganmu
memperkenalkan karya-karya pengarang Indonesia ke pembaca Jerman, kami sangat
menanti dan berterima kasih atas kerja terjemahan yang termasuk langka ini.”
Sabine Müller: “Terima kasih, Kang Sigit, undangannya dan kesempatannya.
Obrolan lanjutnya bersamamu dan teman-teman APSAS dinanti. Salam hangat dan
tetap sehat ya.”
“Hanya kita bersama-sama bisa memperkenalkan karya-karya pengarang
Indonesia ke kalangan pembaca yang berbahasa Jerman.”
Sigit Susanto: “Thomas Mann bilang, Habent Sua Fatalibeli: Buku punya
nasibnya sendiri. Tapi bagiku tetap saja diperlukan tangan-tangan kreatif untuk
memperjuangan nasib buku itu.”
***
Buku-buku karya terjemahannya Sabine Müller:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Labels
Adin
Aguk Irawan Mn
Akhmad Sofyan Hadi
Albert Camus
Andre
Annie Tucker
Anton Kurnia
Anwar Holid
APSAS (Apresiasi Sastra)
Audrian F
Baca Puisi
Bahrul Ulum A. Malik
Berita
Bernando J. Sujibto
Birgit Lattenkamp
Buku Pohon
Cak Bono
Catatan
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Didin Tulus
Dody Yan Masfa
Dwi Fitria
Eka Kurniawan
Endah Sulawesi
Ernest Hemingway
Esai
F Rahardi
F. Rahardi
Franz Kafka
Gaya Lufityanti
Gm. Sukawidana
Gunoto Saparie
Gus Noy
H Tanzil
Haris Firdaus
Heri CS
Herri Chandra Santoso
Iman Budhi Santosa
Indah Survyana
Interview
James Joyce
Jerman
Johannes Sutanto de Britto
Kampung Ciseel
Karl Marx
Kedai Roti
Kemah Sastra
Komunitas Lereng Medini (KLM)
Koskow
Kurnia Effendi
Latief S. Nugraha
lockdown
Lucern
Lucern Kota Mati
M. Lukluk Atsmara Anjaina
Mas Palomas
Metamorfosis
Milan Kundera
Muafiqul Khalid MD
Muhidin M. Dahlan
Nezar Patria
Nunung Deni Puspitasari
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Assyhadie
Pawang Surya Kencana
Perdebatan
Petik Puisi
Proses Kreatif
Puisi Terjemahan
Pulau James Bond
PUstaka puJAngga
Resensi
Rinto Andriono
Ronny Agustinus
Roso Titi Sarkoro
Ruth Martin
Sabine Müller
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Setia Naka Andrian
Setiyo Bardono
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sulistiono
Surat Ti Bali
Swiss
Tiya Hapitiawati
Triyanto Triwikromo
Ulysses
Umbu Landu Paranggi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayang di Salju
Wayang James Joyce
Yogas Ardiansyah
Yonathan Rahardjo
Youtube
Yusri Fajar
No comments:
Post a Comment