: Wawancara ini diambil dari Grup Facebook Apresiasi Sastra (APSAS)
Indonesia
Nurel Javissyarqi: Sebagai muqaddimah, tak jemu-jemunya saya pribadi atas
nama pembaca mengucapkan terima kasih sangat kepada para penerjemah karya-karya
asing ke dalam bahasa Indonesia. Lantaran begitu, prosesi bercampur, kegiatan
saling kenal sampai tahapan mencintai, atau menebarkan kasih berupa berbagi
pundi2 pengetahuan, bertukar pengalaman, menambah khazana keilmuan, bisa
terlaksana dengan baik. Dengan melalu perihal tersebut, menjadi terbit beberapa
puncak keinsafan oleh banyaknya bebulir ilmu pengetahuan di segenap penjuru
dunia, sehingga kesadaran “kemanusiaan” dalam diri terus bertambah sebagai
insan, bangsa, maupun anak-anak peradaban. Pertanyaan saya kepada Mas Wawan Eko
Yulianto: 1. Sejak kapan sampean menggeluti dunia penerjemahan? 2. Perihal apa
yang mendorong menerjemahkan karya-karya asing? 3. Harapan apa saja yang terdamba
dari kerja tersebut? 4. Dan berapakah waktu yg diperlukan, untuk mengerjakan satu
buku misalnya? Sementara itu dulu Mas, nanti disambung yang lain, matur suwon
sanget.
Wawan Eko Yulianto: 1. Saya mulai nerjemah waktu masih kuliah. Awalnya
nerjemah santai-santai di rentalan, tapi belakangan, sebelum lulus, nyoba-nyoba
nerjemah sastra. 2. Untuk nerjemah sastra, awalnya karena perlu memahami
novelnya lebih jauh. Dan sy merasa kalau saya terjemahkan novel itu, sy bisa
jauh lebih paham daripada ketika baca (soalnya ya bahasa Inggrisnya kan waktu
itu standar bahasa Inggris anak kuliah sebelum ada youtube, podcast, dll. jadi
ya perlu usaha lebih untuk memahami teks berbahasa Inggris). 3. Pertama
pemahaman sendiri yang lebih baik atas teks, dan kemudian agar orang lain (yang
kebetulan tidak punya akses ke bahasa Inggris) bisa ikut menikmati teks yang
saya pilih untuk terjemahkan. 4. Tergantung bukunya. Kalau terjemahan pertama
dulu, novel James Joyce, seingat saya butuh berbulan-bulan. Mungkin karena
tingkat kesulitannya. Tapi, belakangan, ketika sdh semakin nyaman dengan bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia, prosesnya lebih cepat. Untuk Tolstoy, misalnya,
saya bisa nerjemah sampai 10 halaman per hari (di luar pekerjaan kantor waktu
itu).
Nurel Javissyarqi: Terima kasih atas jawaban2nya Mas ... sehat selalu untuk
sampean...
***
Dedy Tri Riyadi: Apa alasan Mas Wawan Eko Yulianto memulai menerjemahkan
karya dari luar negeri ke Indonesia, dan karya seperti apa yang menurut mas
Wawan layak dan patut diterjemahkan itu?
Wawan Eko Yulianto: Mas Dedy Tri Riyadi, kalau sekarang, alasan memulai
biasanya karena gabungan antara sy menikmatinya, katanya kritik bagus, dan
tekanan dr luar (karena banyak yg suka, karena menarik perhatian publik,
atau--kadang²--karena ada yg mau bayar.
Dedy Tri Riyadi: yang utama karena menurut kritik buku itu bagus ya mas?
Wawan Eko Yulianto: Tidak selalu, Mas. Beberapa tahun terakhir ini (selain
nerjemah materi non-sastra yang saya kerjakan sehari-hari, spt teks hukum,
website, subtitle) saya lebih banyak nerjemah puisi, lagu, atau cerpen karena
minat pribadi saja. Oh ya Mas, ada kalanya juga saya menerjemahkan karya yang
memang murni ingin saya pahami dan nikmati. Seperti penerjemahan puisi-puisi
Louise Gluck bbrp waktu yg lalu, yang baru saya kenal namanya waktu blio
diumumkan sebagai peraih Nobel bidang sastra.
***
Nanda Lova: Bagaimana cara memindahkan suasana/ruh dari bahasa sumber ke
bahasa terjemahan, dan juga cara pemilihan kata tanpa meninggalkan/melepaskan
kesan yg ada di bahasa sumber/buku aslinya, Pak Wawan Eko Yulianto?
Wawan Eko Yulianto: Nanda Lova, Nah itu tantangannya nerjemah sastra yang
jarang ada di penerjemahan bidang lain. Secara umum kita menyebutnya suasana
atau "atmosfer", tapi secara teknis di ilmu sastra kita menyebutnya
nada atau "tone." Kalau suasana itu apa yang dirasakan pembaca ketika
membaca sesuatu, sementara nada adalah apa yang diciptakan penulis. Suasana
hanya bisa terbentuk di sisi pembaca. Mungkin yang Nanda maksudkan di sini
adalah menerjemahkan nada atau "tone" tulisan itu.
Nada biasanya terbentuk dari beberapa elemen diksi dan pola kalimat.
Penerjemah idealnya memahami bacaan di awal untuk mengetahui isinya dan
mengidentifikasi tone-nya seperti apa (dengan mengenali diksi dan pola
kalimatnya). Dengan melihat diksi dan pola kalimatnya (formal, informal, gaya
lama, dll), kita bisa memutuskan apakah tone cerita ini sedih, mengerikan,
jenaka, dll.
Nanda Lova: Apakah ada buka kelas penerjemahan sastra, pak?
Wawan Eko Yulianto: Ada sih di kampus. Haha. Plus dua tahun yg lalu sy
bersama Pelangi Sastra Malang membuka kelas penerjemahan selama beberapa bulan.
Nanda Lova: Kalau webinar ada tidak, pak?
***
Ren: Dalam proses menerjemahkan, apakah Mas Wawan Eko Yulianto pernah
menemukan beberapa diksi yang asing atau bahkan tidak ada dalam kosa kata
bahasa inggris, kalau pernah bagaimana langkah mas dalam mengalih bahasakan
diksi tsb.
Wawan Eko Yulianto: Mestinya sering, soalnya penulis Inggris atau Amerika
ada kalanya jg suka pakai kata-kata asing spt penulis2 di Indonesia. Kalau bisa
dilacak sampai tahu maknanya, ada dua alternatif yang bisa dilakukan: 1) bisa
ditetapkan seperti itu saja tapi dengan disertai catatan kaki, atau 2) kita timbang
apakah kata asing itu benar-benar perlu hadir dlm bahasa asing itu ataukah bisa
langsung kita beri padanan dalam bahasa Indonesia, biar tidak mengganggu
pembacaan.
***
Sarwo Ferdi Wibowo: Mas Wawan Eko Yulianto, bagaimana Mas menerjemahkan
peribahasa atau ungkapan dalam sastra? Menerjemahkannya begitu saja (apple to
Apple dengan apel dengan apel) atau memilih peribahasa dengan makna serupa dari
bahasa Indonesia?
Wawan Eko Yulianto: Mas Sarwo Ferdi Wibowo, untuk kasus-kasus seperti ini,
ada dua pilihan. Kita bisa a) memutuskan untuk mencari peribahasa dlm bahasa
Indonesia yang memiliki makna setara dengan bahasa Inggris, atau b) memberikan
langsung makna dari peribahasa dalam bahasa Inggris itu. Kalau memilih yang
pertama, tentu kita perlu kerja keras. Tapi ada kalanya bisa dilakukan dan kita
bisa memberikan kekayaan bahasa, yang ya kira-kira setara dengan kekayaan
bahasa aslinya lah. Kalau memilih yang kedua, maka pesan lebih tersampaikan
meskipun akhirnya aspek kekayaan bahasa jadi tidak setara. Kalau menerjemahkan
secara literal seperti "apple to apple" menjadi "apel dengan
apel"--saya pribadi mencoba menghindari yang seperti itu.
Pada prinsipnya, ada dua sikap penerjemah yang bisa dipilih untuk
menerjemahkan karya sastra. Yang pertama, memilih untuk memihak kepada teks.
Kalau sikap ini yg kita ambil, ya berarti kita berusaha sebisa mungkin mewakili
segala aspek dan kekayaan teks bhs Inggris ketika menerjemahkan ke bahasa
Indonesia. Secara teknis, sikap ini disebut "sourcerer" (berorientasi
kepada teks sumber). Yang kedua, kita bisa memilih memihak kepada pembaca. Yang
dimaksud di sini adalah kita buat pembaca senyaman mungkin dengan teks, bisa
memahami dan menikmati ceritanya. Kalau mengambil sikap yang kedua ini, kita
mungkin akan sering melakukan penyederhanaan-penyederhanaan atau mencari
padanan yang kurang lebih mewakili maksud dari teks asli. Sikap kedua ini
biasanya disebut sebagai "targeteer" (berorientasi kepada target).
Kedua-keduanya sah untuk dijadikan sikap dalam menerjemahkan.
Karya-karya sastra yang bagus biasanya memiliki kedalaman dan kekayaan isi
sekaligus bahasa. Tapi, tidak bisa dipungkiri juga bahwa banyak orang yang
membaca karya sastra untuk mendapatkan kenikmatan hiburan atau kenikmatan
berimajinasi (yang nantinya mungkin bisa mengarah ke mengambil nilai-nilai dari
sana). Penerjemah yang memilih untuk mempertahankan semua aspek dari kekayaan
isi dan bahasa itu mungkin akan cenderung menjadi penerjemah yang sourcerer.
Sementara itu, penerjemah yang lain, yang ingin orang lain juga menikmati karya
sastra tertentu sebagai karya yang bisa dinikmati, mungkin akan memilih
mengambil sikap targeteer"
Sarwo Ferdi Wibowo: Terima kasih penjelasan dan kesediannya mengetik
sepanjang itu mas. Saya sedang riset mengenai penerjemahan peribahasa dalam
sastra. Penjelasan mas sangat membantu saya untuk mendapat gambaran
pilihan-pilihan yang dibuat penerjemah.
Wawan Eko Yulianto: Mas Sarwo Ferdi Wibowo, Asyik sekali kedengarannya. Itu
penerjemahan peribahasanya dalam satu karya sastra atau lebih? Kapan2 share lah
di sini biar juga ikut tahu.
Sarwo Ferdi Wibowo: Lebih dari satu karya Mas. Semoga cepat selesai.
***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Labels
Adin
Aguk Irawan Mn
Akhmad Sofyan Hadi
Albert Camus
Andre
Annie Tucker
Anton Kurnia
Anwar Holid
APSAS (Apresiasi Sastra)
Audrian F
Baca Puisi
Bahrul Ulum A. Malik
Berita
Bernando J. Sujibto
Birgit Lattenkamp
Buku Pohon
Cak Bono
Catatan
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Didin Tulus
Dody Yan Masfa
Dwi Fitria
Eka Kurniawan
Endah Sulawesi
Ernest Hemingway
Esai
F Rahardi
F. Rahardi
Franz Kafka
Gaya Lufityanti
Gm. Sukawidana
Gunoto Saparie
Gus Noy
H Tanzil
Haris Firdaus
Heri CS
Herri Chandra Santoso
Iman Budhi Santosa
Indah Survyana
Interview
James Joyce
Jerman
Johannes Sutanto de Britto
Kampung Ciseel
Karl Marx
Kedai Roti
Kemah Sastra
Komunitas Lereng Medini (KLM)
Koskow
Kurnia Effendi
Latief S. Nugraha
lockdown
Lucern
Lucern Kota Mati
M. Lukluk Atsmara Anjaina
Mas Palomas
Metamorfosis
Milan Kundera
Muafiqul Khalid MD
Muhidin M. Dahlan
Nezar Patria
Nunung Deni Puspitasari
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Assyhadie
Pawang Surya Kencana
Perdebatan
Petik Puisi
Proses Kreatif
Puisi Terjemahan
Pulau James Bond
PUstaka puJAngga
Resensi
Rinto Andriono
Ronny Agustinus
Roso Titi Sarkoro
Ruth Martin
Sabine Müller
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Setia Naka Andrian
Setiyo Bardono
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sulistiono
Surat Ti Bali
Swiss
Tiya Hapitiawati
Triyanto Triwikromo
Ulysses
Umbu Landu Paranggi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayang di Salju
Wayang James Joyce
Yogas Ardiansyah
Yonathan Rahardjo
Youtube
Yusri Fajar
No comments:
Post a Comment