Sunday, February 7, 2021

Obrolan mengenai Penerjemahan dari Bahasa Spanyol dan Inggris bersama Ronny Agustinus (Bagian II selesai)

: Wawancara ini diambil dari Grup Facebook Apresiasi Sastra (APSAS) Indonesia
 
Sasti Gotama: Ini adalah salah satu terbitan Marjin Kiri favorit saya: Pemburu Aksara, Ana Maria Shua. Saya berharap, Mas Ronny Agustinus dan Marjin Kiri akan lebih sering menerbitkan terjemahan karya penulis dunia perempuan, hehehe. Saya pernah mendengar bahwa proses penerjemahan kadang bisa menghilangkan kekhasan suatu teks. Seseorang pernah menceritakan kekesalannya kepada saya saat membaca terjemahan Seratus Tahun Kesunyian yang menghilangkan gaya parataksis Gabo. Namun, saat saya menghadapi teks de Beauvoir pun ternyata saya menemui gaya bahasa yang berbeda dengan tata bahasa Indonesia. Kalau menurut Mas Ronny, apakah gaya bahasa penulis itu dibiarkan apa adanya sesuai gaya bahasanya, atau kita sesuaikan dengan struktur bahasa Indonesia, sehingga lebih mudah untuk dikunyah pembaca? Terima kasih sebelumnya.
 

 
Maulidan Rahman Siregar: Salam Mas Ronny Agustinus, kapan nerbitin buku cerpen sangat pendek lagi kayak Matinya Burung-Burung? Saya suka bgt yg itu, enak dibawa ke mana-mana.
 
Ronny Agustinus: Terima kasih Sasti Gotama, saya juga senang karena Ani Shua sangat senang dengan hasil akhir Pemburu Aksara ini. Ya, kami akan menghadirkan lebih banyak penulis perempuan. Yang sudah pasti dan semoga bisa terbit tahun ini: Asli Erdogan (Turki), Paulina Flores (Cile), Marie-Rennee Lavoie (Quebec/Kanada berbahasa Prancis). Terkait dengan fiksi mini, sekalian jawab Maulidan Rahman Siregar, ya semoga nanti ada lanjutannya. Yang jelas saya pribadi kecewa dengan “Matinya Burung2”. Diedit dan dilayout dengan buruk, banyak salah penggal, bahkan ada satu paragraf raib tanpa sepengetahuan editor. Saya minta lihat PDF akhir sebelum cetak, tapi entah kenapa ga dikasih, dan tiba2 sudah naik cetak. Ini cerita yang terpenggal https://sastraalibi.blogspot.com/2015/04/salju-oleh-julia-alvarez.html
 
Sasti Gotama: Siap, Mas. Saya akan sabar menunggu terbitnya karya-karya itu. Sukses selalu, ya.
Maulidan Rahman Siregar: Baik Mas, ditunggu.
 
Ronny Agustinus: Menjawab Sasti Gotama, Soal gaya bahasa. Saya kira harus dilihat kasus per kasus, tidak bisa dipukul rata pendekatan apa yang sebaiknya diambil penerjemah. Terjemahan Inggris Stephen Tapscott atas Neruda misalnya, meski bagus, juga membuat Neruda tampak lebih “surealis” dibanding aslinya. Tidak ada dua bahasa yang bisa dialihkan identik. Apalagi Seratus Tahun Kesunyian. Kalau dibaca terjemahan Inggris Rabassa dengan aslinya, ya beda. Bahkan saat pertama kali terjemahan Inggris itu terbit, ada kritik yang menyebut Rabassa tidak cukup paham bahasa Spanyol. Tapi Gabo membelanya, dia bilang kalau dia menulis Cien anos DALAM bahasa Inggris, dia akan menuliskannya persis seperti terjemahan Rabassa. Hal yang sama bisa kita lihat dalam terjemahan Inggris Arthur McAdam atas karya Vargas Llosa “Quien mato a Palomino Molero?” (Who Killed Palomino Molero?). McAdam menjadikannya seperti khas genre novel detektif berbahasa Inggris whodunnit yang ringkas, tidak bertele-tele, dengan memotong cukup banyak bunga kata-kata yang umum dalam bahasa Spanyol. Pendekatan ini untuk membuat karya itu “bunyi” dalam bahasa Inggris (meski saya curiga juga ada pertimbangan bisnis/penerbit agar bisa meletakkan karya tsb dalam suatu genre tertentu yang dikenali). Ketika saya menerjemahkannya ke bahasa Indonesia dari versi asli, editornya sepertinya memakai versi Inggrisnya sebagai panduan dan membuat bunga kata2 itu sebagiannya dipotong lagi.
 
Sasti Gotama: Baik, Mas. Bisa dipahami. Terima kasih banyak atas penjelasannya.
***
 
Niduparas Erlang: Menyimak. Tapi saya ada pertanyaan: kita sering menemukan karya sastra yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia berasal dari terjemahan bahasa Inggris dan bukan dari bahasa asalnya. Menurut Mas Ronny Agustinus, apakah penerjemahan dari “bahasa kedua” itu akan cukup memadai untuk menghasilkan karya terjemahan yang baik? Atau sebetulnya, terjemahan dalam bahasa lain mestinya cukup dijadikan pembanding oleh seorang penerjemah, namun tetap menerjemahkan dari bahasa asal?
 
Ronny Agustinus: Ini soal penting dan sering sensitif di sini, karena kebanyakan penerjemah di sini menerjemahkan dari bahasa kedua (yang mayoritas Inggris). Ada asumsi yang berbahaya di sini bahwa terjemahan Inggris dianggap sudah yang paling tepat dan benar. Memang proses penerbitan di sana dengan banyak kritikus, pengulas, jurnal, dan ahli2 sastra multibahasa dsb tidak memungkinkan terbitnya terjemahan yang sangat ngawur. Tapi 100% lepas dari kekeliruan juga tidak. Dan ini bahayanya, bila tidak mau memeriksa lagi ke bahasa aslinya. Ini salah satu contoh soal yang pernah saya statuskan:
https://www.facebook.com/ron.agustinus/posts/10218044774660048
 
Dan ini ulasan yang sangat bagus tentang problem atas terjemahan Inggris Foucault. Bayangkan sarjana Indonesia yang memahami Foucault hanya dari terjemahan Inggrisnya https://progressivegeographies.com/2014/01/22/beyond-discipline-and-punish-is-it-time-for-a-new-translation-of-foucaults-surveiller-et-punir/
 
Contoh aktual dari buku yang sedang kami kerjakan. Versi asli Spanyol menulis soal 4 negara; dalam terjemahan Inggris, “Australia” menghilang. Kami konfimasi ke penulisnya. Ya benar, ada kekeliruan di edisi Inggris.
 

***
 
Avic Aisfillah: Menyimak. Saya suka sekali beli dan baca terbitan Marjin Kiri, terutama terjemahan Mas Ronny Agustinus . Tapi banyak juga penerjemah Marjin Kiri yang kualitas terjemahannya bagus dan enak dibaca. Saya ingin bertanya kepada Mas Ronny, untuk saat ini siapa penerjemah Indonesia yang bagus dan terjemahannya perlu kita nantikan? Terimakasih. Salam Mas.
 
Ronny Agustinus: Kalau diizinkan Mas Nurel Javissyarqi, saya menolak menjawab pertanyaan Avic Aisfillah ya hehe... Seperti halnya penulis, penerjemah juga berkembang atau ada naik-turunnya. Ada karya bagus dan kurang bagusnya. Sebabnya bisa banyak: buku yang diterjemahkan sebenarnya tidak sreg buat dia garap, tidak cocok soal genre atau tema atau lainnya, atau deadline yang terlalu mepet dll.
 
Avic Aisfillah: Terimakasih Mas
 
Nurel Javissyarqi: Hak sampean Mas Ronny Agustinus untuk menjawab atau mengabaikannya, begitu...
 
Niduparas Erlang: Menarik sekali, Mas Ronny Agustinus. Saya baru tahu kalau ada asumsi terkait terjemahan ke bahasa Inggris sudah pasti benar, dan dengan begitu tinggal diterjemahkan ke bahasa Indonesia tanpa perlu merujuk bahasa asalnya. Terima kasih banyak atas tanggapannya, Mas.
 
Syahfikar Joesoef: Apakah penerjemahan buku karya Prof Karl Mannheim yg berjudul “Ideologi dan Politik” juga mengalami masalah ‘take it for granted’ penerjemahan dr bahasa Inggris ke bahasa kita. Saya masih belum mudeng karya beliau itu dari mulai pertama kali membacanya dulu ketika msh kuliah, sekitar awal th 90’an sampai sekarang, hehehe....
***
 
Bulsara Hidayat: Mas Ronny pilih mana, Gregory Rabassa atau Edith Grosman?
Ronny Agustinus: Dua2nya sangat bagus. Juga menulis buku semacam “memoar” tentang penerjemahan yg juga bagus.
 
Djoko Saryono: Obrolan yang benar-benar lezat dan sangat bergizi. Informatif, akurat, penuh presisi, dan detail. Saya menikmatinya, dan merasa diperkaya. Terima kasih, Mas Rony.
Ronny Agustinus: Terima kasih juga Prof
***
 
Aliem Bakhtiar: Senang sekali bisa menyimak diskusi edisi ini. Saya mau bertanya pada Ronny Agustinus:
1. Sebagai seseorang yang pernah mengambil kuliah di senirupa, bagaimanakah bung Ronny memandang sebuah karya sastra, terlebih lagi menerjemahkannya. Bagaimana awal mula dunia sastra menarik perhatian Bung Ronny?
2. Bagaimana Bung Ronny mempertimbangkan visual sebuah buku, terutama menerjemahkan visualisasi cover buku-buku terjemahan yang berbeda budaya dalam visualisasi yang tidak menyimpang dan khas Marjin Kiri?
3. Saya melihat Marjin Kiri mulai melirik pada penerbitan sastra anak, apakah bung Ronny juga ada keinginan untuk menerbitkan karya komik Amerika latin atau Rusia?
4. Selain menerjemahkan buku para sastrawan Amerika Latin apakah Marjin Kiri juga punya dorongan untuk menerjemahkan tulisan atau buku seputar para perupa Amerika Latin semacam Diego Rivera atau Frida Kahlo dan lainnya?
Terimakasih, maaf jadi panjang pertanyaannya.
 
Ronny Agustinus: Halo bung Aliem Bakhtiar dan semuanya, maaf baru bisa nongol lagi. No. 3-4 saya jawab dulu ya. Saya pribadi suka sekali komik, dan Marjin Kiri pernah menerbitkan semacam komik Meksiko karya El Fisgon. Kendalanya adalah mencetak komik butuh kualitas kertas, kualitas mesin dlsb yang lebih baik bila ingin mencapai hasil yang memuaskan. Yang artinya biaya lebih. Kami belum mampu untuk itu meski ingin. Begitu juga pertanyaan soal buku para perupa. Akan sayang bila buku para perupa tidak disertai reproduksi karya dalam cetakan berwarna yang memadai. Selama ini buku2 kami juga memuat beberapa foto dan ilustrasi, tapi kualitas cetaknya masih hitam putih standar saja.
***
 
Indra Intisa: Penerjemah puisi jugakah?
Ronny Agustinus: Tidak.
***
 
Buku-buku Terjemahan Karya Ronny Agustinus:
 

***

http://sastra-indonesia.com/2021/02/obrolan-mengenai-penerjemahan-dari-bahasa-spanyol-dan-inggris-bersama-ronny-agustinus-bagian-ii-selesai/

No comments:

Post a Comment