Cak Bono
Judul Buku: Nyanyian Imigran
Penerbit: DF Publisher, Malang Jatim
Hal: xiii+179
Penulis: Anggota BMI Hongkong, Amerika, Swiss dan Jerman
Tahun: 2006
Gejala Buruh Migran Menulis (BMI) yang menulis, dalam hal ini bersastra
bisa dikatakan bukan merupakan hal
yang terasa baru terutama bila dikonfrontasikan dengan
Perantau menulis. Sebelumnya, barangkali, kaum migran Indonesia lebih banyak
disebut sebagai perantau daripada TKW, TKI dan ataupun BMI. Namun, seiring perkembangan waktu dan pemahaman sosial yang
lebih kritis dan didukung oleh kecanggihan sistem informasi, perlawanan terhadap
determinasi, maupun dominasi menjadi begitu
terang-terangan dan bersifat lebih terbuka dan mulai kehilangan
sifat-sifat simbolisnya. Dalam hal ini metafora dan eufemisme menjadi sekedar
kering makna, kering daya dan sekaligus harus dilawan.
Disamping efek politis, efek berikutnya adalah tujuan ekonomis yang
mana kelugasan dalam berbahasa bisa jadi
merupakan suatu kebutuhan di era serba instan, cepat dan industralis. Wilayah
publik yang termarginalisasi tak menjadi lebih dari sekedar bernilai peripheral tetapi sekaligus sebagai
wilayah ekonomis. Menjadi sebuah komoditas yang
coba ditarik lebih kepusat oleh industri media sebagai citraan-citraan
humanitas yang laku untuk dijual seperti halnya acara-acara reality show di
telvisi. Memberikan pertolongan dengan pamrih komersial, omset dan rating.
Diluar itu semua, posisi Sastra BMI sendiri bisa jadi semakin mengemuka
dengan isu dan pendekatan kritis-sosial
atau politik etis gaya baru yang
menempatkan wilayah publik, determinasi dan dominasi sebagai tulang punggung
kritis mereka. Dengan begitu persinggungan dengan kebijakan poitik juga tidak
bisa dielakkan. Namun, apakah “Nyanyian Imigran” lebih berbau politis daripada
sastrawi tentu bergantung sekali kepada versi masing-masing pembaca. Dalam
versi sastra tinggi barangkali standar
sastrawi dari kumpulan cerpen ini masih jauh dari keinginan khalayak
pembaca, apalagi segmentasi pembaca sastra.. Terlepas dari itu semua, bukankah
validitas sastra tinggi seringkali masih diperdebatkan?.
Berbicara tentang kualitas sedikit banyak akan berhubungan dengan
penerimaan khalayak yang semakin heterogen, dan multikurtur. Ada yang
menganggap bahwa kualifikasi karya sastra sepertinya juga telah bergeser dari menara
kanon.Barangkali terdengar sedikit
herois bila menyinggung perjuangan kelasnya Marxis telah bertransformasi
menjadi perjuangan mengatasi
kategorisasi-melawan dominasi. Suara Publik terutama yang tertindas harus didengarkan; barangkali
seperti itu umumnya propaganda awal
dibalik industri sastra dengan tema-tema sosial yang belakangan malah terkesan
eksploitatif.
Buku kumpulan cerpen “Nyanyian Imigran” yang diangkat dari judul cerpen
karya Joey Sambo ternyata diilhami oleh
lagu The Led Zepplin: ‘Immigrant Song’ yang menjadi pengikat cerpen-cerpen ini dalam satu wadah.
Walaupun thema-thema penindasan, feminisme, trafiking ataupun diskriminasi
masih menjadi setting dan basis utama fiksi mereka, beberapa penulis BMI malah
tak lagi menjadikan hal tersebut sebagai isu utama. Diantaranya bahkan juga
mampu menunjukkan jalinan plotting, dan ending yang lumayan seru seperti dalam: Laki-laki dan
Lukisan Burung oleh Lik Kis, Pahlawan Kesiangan oleh Swastika, Hamil oleh
Tarrini Sorrita, Gelang Giok Mama oleh Mega Vristian, ataupun Kidung Duka
Seorang Buruh oleh Gendhot Wukir, yang ditulis dalam gaya yang lumayan liris.
Beberapa cerpen memang masih stereotip mengeksploitasi ketertindasan mereka
secara lebih terbuka, tetapi sebagian besar sudah menjadikannya hanya sebagai
latar. Gaya bercerita aku-an atau orang pertama yang mendominasi karya yang
terkumpul barangkali bisa mengakibatkan efek bosan kepada pembaca terlebih
apabila tema yang diangkat cenderung stereotip. Tentu, akan menjadi tak nyaman
bagi pembaca bila sekedar membaca ratapan yang diulang-ulang. Meskipun karya
yang dimuat pada bagian terdepan: Selembar Kertas Buku Harian BMI justru
mengindikasikan hal tersebut dan masih terasa datar atau kurang sentuhan
sastrawi.,tetapi, bila pembaca mau mencoba untuk terus bergerak semakin
kedalam, maka akan didapati beberapa karya dengan tema dan nada yang bervariasi.
Mayoritas penulis sudah mampu menghadirkan suasana yang membawa dan
mendeskripsikan setting perantauan dengan lancar dan berkarakter. Mungkin
karena kedekatan emosional yang kuat membuat mereka mampu melukiskan dengan
lebih dalam tempat-tempat seperti Victoria Park, Wan Chai, pulau tumpukan kotak
beton yang disebut Hongkong, ataupun stasiun kereta api Bahnnof. Pembaca akan
diajak untuk berwisata ke dua dunia:
geografis dan psikologis.
Realisme perantauan, begitulah versi penulis atas gambaran umum dari
“Nyanyian Imigran” ini. Berbeda mungkin dengan cerpen ataupun novel yang
menggambarkan karakter utamanya sebagai seorang native atau warga asli pribumi.
Realisme Perantauan cenderung berjarak dari keaslian (versi penulis: nativitas)
lingkungannya; karenanya cenderung berjarak dan lebih bercirikan etnografis
yang berujung pada labeling untuk menyamakan atau membedakan level berdasarkan
pada ciri fisik, penamaan, ataupun kultur karakter-karakternya.
Coba simak cerpen Etik Juwita, sebagai seoarang gadis mati rasa mencoba
menggambarkan seorang Nigeria dengan ciri-ciri fisik serta sikap yang tak lebih
bermartabat daripada sebangsanya sendiri. Di sisi lain Sigit Susanto berusaha
menggambarkan balada seorang perempuan uzur Eropa, langsung dari kacamata seorang
native. Barangkali meskipun bisa saja tidak presisi bila dibaca oleh pembaca
nativenya, setidaknya usaha untuk menggunakan kacamata Eropa Sentris dalam nada
atau sudut pandang bisa memberikan efek kepada pembaca Indonesia bahwa realitas
yang disuguhkan oleh Sigit Susanto ‘native’ adanya.
Ada gejolak-gejolak yang ditimbulkan oleh cultural shock, geographical
shock, ataupun perbedaan anatomi yang berujung pada labeling dan kecenderungan
untuk tetap memelihara jarak dari nativitas lingkungan barunya. Tentu saja kita
harus memaknainya dalam kerangka fiksi yang harus dijauhkan dari tuduhan
rasisme; untuk itu mungkin lebih sesuai
menyebutnya sebagai keterbedaan idiolek.
Pastinya, tak cukup hanya dengan ‘Nyanyian Imigran’ dan terlalu dini untuk mengklasifikasi jenis
fiksi ini sebagai Realisme Perantauan, barangkali akan lebih menarik bila
Realisme Perantauan tak hanya berhenti pada taraf ontologis. Secara
keseluruhan, kejutan budaya, penindasan,
dan tema sosial kritis yang menjadi tulang punggung dari kumpulan cerpen
“Nyanyian Imigran” adalah lahan
potensial bagi momen dan konflik dramatis. Jadi…
***
http://sastra-indonesia.com/2020/09/membaca-sekumpulan-nyanyian-imigran/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Labels
Adin
Aguk Irawan Mn
Akhmad Sofyan Hadi
Albert Camus
Andre
Annie Tucker
Anton Kurnia
Anwar Holid
APSAS (Apresiasi Sastra)
Audrian F
Baca Puisi
Bahrul Ulum A. Malik
Berita
Bernando J. Sujibto
Birgit Lattenkamp
Buku Pohon
Cak Bono
Catatan
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Didin Tulus
Dody Yan Masfa
Dwi Fitria
Eka Kurniawan
Endah Sulawesi
Ernest Hemingway
Esai
F Rahardi
F. Rahardi
Franz Kafka
Gaya Lufityanti
Gm. Sukawidana
Gunoto Saparie
Gus Noy
H Tanzil
Haris Firdaus
Heri CS
Herri Chandra Santoso
Iman Budhi Santosa
Indah Survyana
Interview
James Joyce
Jerman
Johannes Sutanto de Britto
Kampung Ciseel
Karl Marx
Kedai Roti
Kemah Sastra
Komunitas Lereng Medini (KLM)
Koskow
Kurnia Effendi
Latief S. Nugraha
lockdown
Lucern
Lucern Kota Mati
M. Lukluk Atsmara Anjaina
Mas Palomas
Metamorfosis
Milan Kundera
Muafiqul Khalid MD
Muhidin M. Dahlan
Nezar Patria
Nunung Deni Puspitasari
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Assyhadie
Pawang Surya Kencana
Perdebatan
Petik Puisi
Proses Kreatif
Puisi Terjemahan
Pulau James Bond
PUstaka puJAngga
Resensi
Rinto Andriono
Ronny Agustinus
Roso Titi Sarkoro
Ruth Martin
Sabine Müller
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Setia Naka Andrian
Setiyo Bardono
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sulistiono
Surat Ti Bali
Swiss
Tiya Hapitiawati
Triyanto Triwikromo
Ulysses
Umbu Landu Paranggi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayang di Salju
Wayang James Joyce
Yogas Ardiansyah
Yonathan Rahardjo
Youtube
Yusri Fajar
No comments:
Post a Comment