Friday, December 25, 2020

Mengenal Kepenyairan Iman Budhi Santosa bersama Latief S. Nugraha

 
Dalam obrolan di grup facebook Apresiasi Sastra (Apsas Indonesia)
 
Nurel Javissyarqi: Sebagai pembuka saya bertanya Mas Latief, sejak kapan sampean mengenal sosok Iman Budhi Santosa? Dan, bagaimana sampean menyaksikan alam dunia-dalam, kesendiriannya, kesunyiannya, kebatinannya IBS dalam sumur tua kepenyairannya? Kemudian, seperti apakah (tentu sebatas yang sampean ketahui) IBS melihat gerak & langgam kesusastraan di Indonesia? Sementara itu, nanti disambung yang lain... suwon...
 
Latief S. Nugraha: Saya mengenal Mas Iman, dalam arti bertegur sapa pertama kali dengan sosoknya, kurang lebih sepuluh tahun silam. Akhir 2010 saya bergabung dengan Studio Pertunjukan Sastra. Kala itu di rumah Mas Hari Leo AER, kami bertemu dan berbincang. Mas Iman bertanya, kebetulan waktu itu ada jangkrik putih kecil di ruang tamu, kenapa ini disebut Jangkrik Upa? Malam itu pertama kalinya saya mendengar nama Jangkrik Upa. Tapi tentu saja Mas Iman sedang tidak ingin memberi tahu tentang nama itu, tapi bagaimana masyarakat menamainya dan apa pendapat saya. Saya jawab, ya karena kecil putih mirip upa (sebutir nasi) dan ada di dalam rumah. Itu pertama kali saya mengenal pribadi beliau. Hubungan tegur sapa di Studio Pertunjukan Sastra itulah yg mendekatkan kami dengan banyak sastrawan dan seniman, utamanya di Yogya. Dari situ pula Mas Iman mengenal kami. Pada 2012 saya diminta membantu, lebih tepatnya bergabung di penerbit Gama Media, temoat Mas Iman Bekerja. Sejak aaat itulah saya mulai intens dengan beliau. Setiap hari bertemu, berbincang, soal pekerjaan dan sastra tentu saja. Kebersamaan di Penerbit Gama Media itulah yg saya gunakan untuk belajar puisi pada beliau. Seusai pulang kerja mampir ke kost Mas Iman di Dipowinatan.
 
Mas Iman bukanlah bintang di langit yg sewaktu-waktu meledak atau beralih. Ia serupa pemantik api. Ia ada bagi yg membutuhkannya, sebagai penerang atau sekadar untuk menyalakan rokok. Tapi setiap.yg membutuhkannya akan menyimpan pemantik api itu. Demikianlah posisi Mas Iman. Kediamannya sebagai pohon yang tidak pernah beranjak, tapi selalu berbunga dan berbuah. Pada musim-musim tertentu ia gugurkan dedaunan. Kesunyian beliau serupa pohon. Tapi, ia bukan beringin yang menolak rumput tumbuh di bawah pohonnya. Ia pohon yang mengayomi siapa saja yang hendak tumbuh dan berteduh di rimbun rindang ilmu pengetahuan yang dimiliki dan dilakoninya.
 
Dalam melihat gerak kesusastraan Indonesia, Mas Iman sangat senang dengan keberadaan komunitas sastra di berbagai penjuru tanah air. Komunitas sastra menjadi perhatian beliau. Peristiwa turunnya ilmu. Peristiwa asah asih asuh dari sastrawan pendahulu kepada yang muda yang sedang belajar sastra amat sangat membanggakan beliau. Ia menyebutnya dengan "patembayatan". Nah, hal inilah yg menjadi penying ketika membicarakan posisi beliau. Menjadi titik poros yg netral. Yang tidak berpihak tapi sekaligus bisa berada di mana saja.
 
Nurel Javissyarqi: Matur suwon sanget jawabannya Mas Latief S. Nugraha...
 
Latief S. Nugraha: Tentu ini hanya sedikit pengalaman di banding rekan-rekan yang lain, Mas. Lebih enak diobrolkan agaknya, karena akan memantik ingatan dan pengalaman kita temtang beliau. Matur nuwun, Mas. Semoga yg sedikit ini bermanfaat. Banyak cerita sesungguhnya tentang beliau...
 
Sigit Susanto:  Mas Latief, pertama ikut berduka cita yang mendalam atas meninggalnya Mas Iman Budhi Santosa. Pertanyaanku 1) Sejak kapan sampean bertemu Rama Iman dan dalam peristiwa apa? Bagaimana feeling sampean pada momen itu? 2) Seberapa intensif pertemanan sampean dgn Rama Iman dan sampai kapan terakhir kali? 3) Apa yang paling banyak ditimba dari Rama Iman, cara berproses mencipta puisi, mengunduh angan, kehidupan? 4) Adakah peristiwa yang sedikit mistis selama berinteraksi dan adakah wangsit pribadi kepada sampean? Terima kasih.
 
Latief S. Nugraha: Kang Bondet nomor 1-3 semga sudah terjawab di balasan saya untik Cak Nurel nggih, Kang... Untuk pengalaman mistis saya nyaris tidak pernah mengalami. Bahkan ketika saya menginap di kamar mas iman yg konon angker pada 2014 silam untuk beberapa hari, saya tidak menjumpai peristiwa yg aneh-aneh. Kalau wasiat, agaknya hampir semua teman yg dolan dan ngangsu kawruh kepada beliau senantiasa mendapat PR. Banyak PR dari Mas Iman, yang saya yakin belum banyak dikerjakan murid-muridnya, termasuk saya... Hehehhee...
 
Sigit Susanto: Terima kasih jawabnya Mas Latief S. Nugraha. Pengalamanku, setiap bertamu di emperan rumah mas Iman selalu kejatuhan sawo, persis di depanku, apa karena aku datangnya pas musim sawo ya, itu selalu bulan Mei. Karena selalu kejatuhan sawo, ada sekali gelinding di depanku, aku ambil, ternyata matang dan aku makan. Mas Iman ketawa, dia kesukaannya roti mari bundar yang dibeli di warung sebelah.
 
***

https://sastra-indonesia.com/2020/12/mengenal-kepenyairan-iman-budhi-santosa-bersama-latief-s-nugraha/

No comments:

Post a Comment