Sunday, November 15, 2020

Wawancara Proses Kreatif bersama Dedy Tri Riyadi

dalam obrolan di Grup fb Apresiasi Sastra (APSAS)
Nurel Javissyarqi: Sebagai pembuka pertanyaan, saya bertanya Mas Dedy Tri Riyadi, 1. dalam kondisi kejiwaan seperti apa atau suasana batin yg bagaimana, sampean menuliskan sajak2 atau puisi? 2. oya, sejak kapan sampean tertarik dengan dunia puisi? 3. kalau boleh tahu, siapa sastrawan yang sampean kagumi, atau cenderung ke arahnya lebih, bisa disebut tokoh dalam maupun luar negeri, dan ke 4. jika sampean melihat sejarah pun gerakan kesusastraan di tanah air; sastra indonesia itu seperti apakah kondisinya, dibanding alam susastra di negara2 lain, menuju ke arah kehancuran atau tak jelas, atau semacam baru melangkah, ataukah sudah cukup baik dipandang dlm perkembangannya, di mata dunia? sementara itu dulu, nanti dilanjut lainnya, matur suwon sanget Mas, atas waktunya…
 
Dedy Tri Riyadi: 1. Saya selalu menganggap menulis itu seperti sebuah pekerjaan yang serius dan harus dilakukan penuh dengan kecintaan atau kegairahan. Maka ketika menulis, saya harus benar-benar memfokuskan diri pada pekerjaan itu. Jika dikaitkan dengan suasana batin, artinya saya harus beres dulu dengan lain-lainnya, baru bisa menulis. Meskipun durasi ketika menulis itu bervariasi, lama atau sebentarnya, tapi saat menulis itu saya merasa harus dalam suasana yang damai. Alasan lain sebenarnya karena saya orangnya moody. Jadi, saya harus bereskan kemalasan saya juga sebelum menulis. 2. Saya termasuk yang telat memulai dunia tulis menulis ini. Sekitar tahun 2005-2006 setelah membaca Kahlil Gibran, saya merasa tertarik dengan menulis. Memulai menulis prosa, baru kemudian ke puisi. 3.Di dunia prosa, sejak SMP saya merasa tertantang bisa menulis seperti Karl May, atau Trisno Sumardjo. Sedangkan untuk puisi, saya berangkat dari Toto Sudarto Bachtiar. Lalu dari sana, saya bergerak mencari referensi yang lain. 4. Sejauh pengamatan saya menjadi redaktur, khususnya puisi, dunia sastra kita masih sangat cerah dan bagus kondisinya. Masih bertumbuh dan bertambah para penyair muda. Penulis prosa yang muda usia dan bagus mutunya juga banyak, terlepas dari masalah bagaimana orang di luar negeri memandang apa dan bagaimana sastra Indonesia itu. Jika dikaitkan dengan apakah sastra dan sastrawan kita mampu bicara di pentas dunia, saya rasa beberapa nama sudah membuktikannya dengan diterbitkan buku-buku mereka di penerbitan-penerbitan luar negeri.
 
Akhmad Sekhu: Mantap dialog dua tokoh sastrawan
Dedy Tri Riyadi: sastrawan apa mas saya ini? hihi
Akhmad Sekhu: ok Mas tetap semangat berkarya
Dedy Tri Riyadi: minta alamat email mas
Akhmad Sekhu: akhmad.sekhu@yahoo.com
Nurel Javissyarqi: Mas Akhmad Sekhu sama Mas Dedy Tri Riyadi apa sudah pernah ktmu ya di kawasan seputar jkt, penasaran aja…
Dedy Tri Riyadi: seingat saya belum mas..
Akhmad Sekhu: sudah pernah ketemu di TIM
Nurel Javissyarqi: mungkin sempat berpapasan di kawasan tim hb jassin hehe… tapi belum kenal -wajah hehe… (dua komentar terakhir dalam waktu bersamaan).
***
 
Sabbih Sabana: Mas Dedy Tri Riyadi, saya mau tanya nih… Setelah menulis banyak puisi dan cukup banyak pula penghargaan yang diraih, apakah seorang Dedi Tri Riyadi masih punya banyak kendala bahasa dalam berpuisi? Bagaimana cara mengatasinya? Maturnuwun… Salam.
 
Dedy Tri Riyadi: jujur mas Sabbih Sabana, saya masih terus berproses untuk bisa menemukan “bahasa” saya sendiri. Karena saya berasal dari kota kecil di pantura Jawa, lantas tinggal di kota besar (Jakarta), dan dari kecil mengalami gagap budaya antara budaya Jawa yang didiktekan oleh ayah dengan kiblatnya pada Yogyakarta, bahasa ibu di Tegal, sempat mencicipi budaya Sunda (Bogor, Sukabumi, Garut, Bandung), lalu di Jakarta, itu menjadikan semacam bauran pengaruh dalam berkata-kata. Dalam puisi, khususnya, saya pun bergerak dari pengetahuan yang sedikit pada karya-karya yang diajarkan di sekolah, khususnya Totok Sudarto Bachtiar, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, sampai Joko Pinurbo. Kegairahan saya untuk menulis puisi juga dipengaruhi oleh bahasa puitis Kahlil Gibran, sampai pada pencarian-pencarian lainnya seperti Neruda, Wislawa Szymborska, Paul Célan, Charles Bukowski, Philip Larkin, Allen Ginsberg, dan sebagainya. Melakukan pengamatan (jika tidak mau dibilang penelitian) pada karya-karya mereka, bagi saya adalah cara untuk menemukan pengucapan yang berbeda. Dengan kata lain, memperkaya khasanah kita pada karya-karya para pendahulu menjadi cara tersendiri untuk mengatasi kendala berbahasa dalam puisi. Saat ini, selain mendekatkan diri pada karya-karya Paul Célan, saya tengah belajar dari Vladimir Mayakovski, Paavi Haavikko, Tomas Tranströmer, dan Osip Mandelstam. Salam.
 
Sabbih Sabana: wah, sangat kompleks latar sosial dan budaya yang dialami mas Dedy Tri Riyadi. Dan memang memperkaya khasanah tersebut menjadi pengaruh besar dalam berkarya, sayang sekali di kota kecil sulit mendapat buku-buku bagus yang bisa dipinjam scr gratis. He. Oh ya, soal kegagapan budaya tadi, brti sampai saat ini masih terus terjadi atau sudah mulai hilang, mungkin karena sudah menemukan pribadi mas Dedy Tri Riyadi… Demikian dan terima kasih… Sukses selalu.
 
Dedy Tri Riyadi: Sejauh ini, mas Sabbih Sabana, sedikit sudah menemukan gambaran kalau saya ngomong lewat puisi akan bagaimana. Meski mungkin belum bentuk finalnya.
Sabbih Sabana: ok.. Maturnuwun. Terimakasih jg buat mas Nurel Javissyarqi
***
 
Omni Koesnadi: sy juga penyuka Mayakovski, sekali2 bolehlah mas Dedy terjemahkan dlm bhs Indonesia.tksi..
Dedy Tri Riyadi: Boleh Pak Omni Koesnadi
***
 
Syahfikar Joesoef: Ditunggu alih bahasanya ya Mas Dedy Tri Riyadi…
Dedy Tri Riyadi: saya pernah menerjemahkan satu di status facebook saya.
https://www.facebook.com/dedy.t.riyadi/posts/10157845929422099
Syahfikar Joesoef: Baik, terima kasih Mas, akan langsung saya buka tautannya….
***
 
Anissa Fitri: Pertama kali menulis puisi dulu awalnya kenapa, Mas? Apa sih hal paling basic yang harus dipelajari ketika kita ingin menulis?
 
Dedy Tri Riyadi: bagi saya, karena kegagapan saya dalam berkata-kata secara langsung, puisi menjadi saluran menyimpan aneka perasaan terhadap apapun. Baik masalah dalam hidup atau sekadar kekaguman akan sesuatu. Puisi juga menjadi semacam catatan untuk mengingat satu peristiwa. Saya tidak serta merta langsung menulis, melainkan mempelajari berbagai macam hal berkenaan dengan puisi, seperti memetaforakan sesuatu, mencari cara ucap terhadap sesuatu dengan belajar teknik kenning, lalu mencoba merangkainya dengan teknik seperti pelukis membuat lukisan surealis. Secara teknis penyusunan kata dalam puisi, dalam satu kurun waktu tertentu di mana yahoo! messenger masih berjaya, saya belajar membuat semacam mozaik dari 10 kata dari Joko Pinurbo, Aan Mansyur, Hasan Aspahani, Bernard Batubara, Pringadi Abdi, dll. Lalu saya belajar juga dari karya tokoh-tokoh yang sudah saya sebut dalam komentar saya untuk menggali bentuk-bentuk dalam puisi. Secara umum, saya belajar teori-teori berpuisi meski tidak dalam satu kelas khusus. Jika dianggap sebagai latihan dasar berpuisi, menurut saya, dan ini bisa jadi sangat salah, adalah merumuskan masalah yang hendak kita sampaikan dalam puisi. Paling tidak dengan cara belajar metafora, apalagi secara bentuk puisi sekarang sudah sangat cair ukuran-ukurannya, beda dengan puisi lama yang begitu ketat dengan metrum, rima, enjabemen, dan lain-lain alat puitika.
 
Anissa Fitri: terimakasih jawabannya, Mas.
Shiny Ane El’poesya: Nyimak ikut.
Anissa Fitri: kamu sendiri Shin? Pertanyaan itu juga buatmu.
 
Shiny Ane El’poesya: Karena jatuh cinta sama perempuan yang sama-sama di pesanrtren. Perempuannya sangat alim dan pendiam. Aku juga dlu cenderung gak suka banyak ngomong, ngobrol ngalor ngidul dan berterus-terang. Jadi biasanya aku titipkan tulisan kecil ke kawan. Tulisan yang sekiranya gak habis selesai sekali baca. Tapi dlu gak seperti yang di Kotak Cinta bentuknya, karena beda kegemaran di antara mereka.
 
Shiny Ane El’poesya: Mas, mau ikut tanya. Kenapa waktu itu terbitkan buku dengan judul: Belajar 53sa7?
 
Dedy Tri Riyadi: berlatih solmisasi itu teknik belajar bernyanyi yang harus dikuasai sebelum bisa disebut sebagai penyanyi. Dalam buku itu saya membagi pelajaran berpuisi saya pada 3 bagian besar; sebagai orang jawa yang menganggap tembang-tembang macapat sebagai puisi lama, puisi-puisi yang bertema dari lagu kanak-kanak, lagu rohani, sampai dengan lagu pop, dan syair Yusuf yang saya buat mengambil lagu jazz dan khazanah sufistik. Dengan benang merah lagu / nyanyian itu saya memutuskan untuk menamakannya, sesuai dengan judul puisi di dalam buku itu juga, menjadi Berlatih Solmisasi.
 
Shiny Ane El’poesya: Apakah dengan itu berarti Mas Dedy secara tidak langsung mengatakan bahwa lagu as a lirik adalah sebuah puisi? Khusus untuk yang bagian lagu rohani, apa ada sampel versi dilagukannya? Saya mau coba dengar Mas kalau boleh.
 
Dedy Tri Riyadi: saya hanya mengambilnya sebagai tema atau bahan dalam menulis puisi yang bisa jadi sangat berbeda dengan lirik dari lagu tersebut. Contohnya, dalam puisi “Sst…Kau Tahu, Ada Harimau Bersembunyi dalam Lagu Naik Naik ke Puncak Gunung” saya memainkan imajinasi bahwa karena ada nada yang menurun di akhir lagu, seolah ada harimau yang terlihat oleh anak dalam lagu itu. Lagu rohani yang saya ambil dalam salah satu puisi yang judulnya sama adalah Agnus Dei. Liriknya dalam puisi itu sama sekali berbeda dengan lirik lagu Agnus Dei itu. Dalam puisi itu, saya memetaforakan hidup sebagai suatu kota yang dilanda peperangan tetapi karena perkenanan Tuhan, kota itu tampak utuh. Sementara lagu Agnus Dei sendiri adalah puji-pujian bagi Tuhan.
***
 
Bem Boo: Mas izin bertanya, selain waktu hal apa saja yang bisa mematangkan dalam berpuisi? Terimakasih sebelumnya.
 
Dedy Tri Riyadi: kalau boleh saya berpendapat, dan ini bisa jadi belum tentu benar, adalah kejelian pengamatan dan kesabaran. Kejelian pengamatan akan membantu kita mencari cara ungkap baru atau metafora baru akan sesuatu. Kemarin saya membaca puisi seseorang tentang air cuci tangan dalam mangkuk (kobokan), ia jeli dalam mempertanyakan suatu perubahan, apakah setelah orang cuci tangan, air itu berarti berjasa atau justru orang yang cuci tangan itu berjasa baik air itu karena dipakai? Kesabaran diperlukan untuk bisa menjalinkan hal-hal yang ditangkap dari kejelian kita itu menjadi satu puisi yang utuh sekaligus kompleks.
 
Bem Boo: Siap, terimakasih Mas sudah berkenan menjawab.
Dedy Tri Riyadi: yang sudah bertanya, boleh kirimkan alamat email, untuk mendapatkan Mata Puisi edisi 6/ Oktober 2020 ya. Sebagai tanda terima kasih.
***
 
Mega Vristian Sambodo: Kalau gak bertanya tapi serius ikut nyimak, gmn Mas Penyair, dapat hadiah apa
Dedy Tri Riyadi: boleh Mbak. silakan kirim alamat email.
***
 
Mutia Sukma: Mas Dedy bagaimana kiat merawat ritme sehingga masih terus produktif menulis sampai saat ini?
 
Dedy Tri Riyadi: Mbak, saya ini moody sebetulnya, tapi karena merasa belum berhasil jadi penulis, maka saya pun harus bertekun menghasilkan tulisan, apa saja. Setelah selesai menulis Berlatih Solmisasi (dua tahun belakangan ini), saya sempat merasa kehabisan energi. Yang memacu untuk terus menulis sebenarnya penjelajahan tema dan teknik penggarapan dari penyair-penyair lain. Sayangnya, saya pembaca yang lambat, dan sekaligus penulis yang malas. Terlebih kehidupan di luar kepenulisan menuntut fokus pada pekerjaan yang hampir 10-12 jam sehari. Untunglah, saya diberi kepercayaan untuk membaca karya-karya para penyair lain lewat Mata Puisi, penyair-penyair yang usianya jauh lebih muda tetapi puisi-puisinya bernas. Mungkin sama seperti teman-teman lain, jika dipancing dengan bacaan yang menarik, akan timbul respon untuk menggarap sesuatu.
 
Mutia Sukma: terimakasih ya mas. Saya selalu tertarik cerita penulis yg nafasnya panjang. Semoga nulis terus sampai tua ya mas.
***
 
Rayi El Fatih: Saya termasuk orang yang sangat minim perkara teori menulis, baik puisi maupun prosa. Kebanyakan apa yang saya tulis berangkat dari hal-hal yang saya temui sehari-hari. Yang jadi pertanyaan saya, apakah mungkin bisa menulis dengan baik tanpa tahu banyak tentang teori, Mas Dedy Tri Riyadi. Suwun.
 
Dedy Tri Riyadi: laku menulis dan mempelajari teori itu berjarak sebenarnya. Awalnya, dan ini salah, saya menulis tanpa memikirkan teori. Namun, seiring waktu, saya juga berjalan mundur untuk belajar berpuisi itu bagaimana, maka saya baca teori sastranya Eagleton dll., seperti surat untuk penyair muda Rilke dan baru kemarin saya baca surat untuk penyair muda-nya Virginia Woolf. Setelah banyak membaca teori, biasanya saya terpancing untuk mempraktekkan ketika menulis, dan seringnya, tanpa perlu diperhitungkan, saat menulis kita bisa sambil menjalankan teori itu tanpa upaya yang berkeras maksud pada mempraktekkan teori itu. Boleh minta alamat email?
 
Rayi El Fatih: artinya teori dan praktek harus seimbang ya, Mas. Dengan senang hati, ini email.saya: koko.prast@gmail.com
Dedy Tri Riyadi: benar, seperti lain hal, kalau ingin melakukan dengan benar dan sungguh-sungguh pastinya kita mau dan merasa harus belajar dengan benar dan sungguh-sungguh juga.
Rayi El Fatih: alhamdulillah, terima kasih pencerahannya, Mas.
***
 
Ricky Ulu: Mas Dedy Tri Riyadi, hal apa yang paling menggembirakan selama menulis puisi?
 
Dedy Tri Riyadi: Ada dua hal yang menggembirakan jika menulis puisi. Pertama, mendapat kritik dan apresiasi, dan yang kedua, mendengar ada yang menyatakan bahwa puisi itu bisa menyentuh perasaannya ketika ia membaca. Di luar hal itu, saya anggap bonus. Sebab tujuan dari saya menulis lebih kepada hal-hal personal, paling tidak ingatan akan suatu peristiwa. Boleh minta alamat email?
***
 
Dunstan Obe: Mas Dedy Tri Riyadi mau tanya, menurut mas puisi itu apa? Mengapa mas lebih memilih menulis puisi, daripada menulis jenis karya sastra lainnya, seperti novel, cerpen, dll?
 
Dedy Tri Riyadi: saya pribadi menganggap puisi itu semacam catatan peristiwa selain rekaman perasaan saya secara personal. Saya juga menganggapnya sebagai satu dunia yang saya ciptakan di alam pikiran, sehingga bisa saja orang memandangnya rumpang, bisa juga indah. Di samping menulis puisi, saya ada menulis cerpen, novel, apresiasi, juga status di media sosial. Namun, ikatan batin dengan puisi lebih kuat. Alasan lain mungkin untuk mencipta satu puisi bisa lebih singkat (tidak selalu) daripada menulis cerpen atau novel. Oh ya..alamat email jangan lupa.
 
Dunstan Obe: Dedy Tri Riyadi terima kasih Mas. dunstanmaunu19@gmail.com
***
 
Agus Bukulawas Menkmenk: Penyair Dedy Tri Riyadi termasuk yg sy ikuti postingan2 puisinya… luar biasa produktif dan puisi2nya segar. Banyak pertanyaan dalam benak saya sudah terwakili oleh kawan2 di sini. Trm kasih, sy menyimak semua perbincangan di sini. Sy belajar…
 
Dedy Tri Riyadi: saya kirim via WA saja ya.
***
 
Wendy Fermana: Om Dedy, mau tanya. (1) Kalau membaca dan menulis apakah ada waktu khusus? Mungkin pagi atau petang? (2) Perbedaan membaca dulu dan sekarang bagaimana? Kalau membaca puisi yang dicari sekarang apa? (3) Adakah daftar buku yang disarankan untuk mulai menulis puisi? Sepengalaman Om Dedy saat mulai menulis dulu.
 
Dedy Tri Riyadi: Hadeuh..serasa jeruk makan jeruk nih ..pertanyaan terakhirnya, haha. 1. Membaca dan menulis, bodohnya saya, tidak punya waktu khusus. Sesempatnya. Makanya saya pembaca yang lambat, penulis yang malas. 2. Tidak ada perbedaan, sih. Khususnya dalam mencerna puisi seseorang, saya akan menelisik ke dalam tema, penggarapan, kaitan ke peristiwa / pengalaman. 3. Kalau dalam negeri, bisa mulai dari Chairil, Subagio, Sapardi, Afrizal, Sutardji, Jokpin. Ada pencapaian-pencapain khusus (jika boleh disebut demikian) antara satu dan lainnya dari mereka itu dalam berpuisi. Bisa ditambahkan Goenawan Mohamad, dan Nirwan Dewanto. Saya juga membaca karya Saut Situmorang, Nuruddin Asyhadie, Binhad Nurrohmat. Dan masih banyak lainnya. Hasan Aspahani, Ramon Damora, itu juga perajin kata yang ulet dan ulung. Aduh sedikit sekali ya? Oh, ya. Alih-alih diminta baca Neruda, waktu saya awal-awal belajar menulis puisi diminta oleh Joko Pinurbo untuk membaca puisi-puisi Philip Larkin.
***
 
Ina Minasaroh: Mas Dedy Tri Riyadi, apa judul puisi favorit panjenengan? Dan mengapa?
*duh, udah kayak soal UTS aja, ya.
 
Dedy Tri Riyadi: Masih terkait pertanyaan di atas, karena awalnya saya diminta membaca Philip Larkin oleh Joko Pinurbo, saya punya puisi favorit darinya, judulnya This Be The Verse.
 
This Be The Verse
 
They fuck you up, your mum and dad.
They may not mean to, but they do.
They fill you with the faults they had
And add some extra, just for you.
But they were fucked up in their turn
By fools in old-style hats and coats,
Who half the time were soppy-stern
And half at one another’s throats.
Man hands on misery to man.
It deepens like a coastal shelf.
Get out as early as you can,
And don’t have any kids yourself.
 
Puisi ini bagi saya seperti cara penyair memandang karyanya dengan membebaskan dari beban yang seolah ingin ditanggungkan pada puisi itu untuk “mengajari / memberi tahu” para pembaca apa sih yang ingin disampaikan lewat puisi itu oleh penulisnya.
 
Ina Minasaroh: Saya baru tahu puisi itu. Indah dan berima. Mumpung ingat, karena saya sedang belajar menerjemahkan puisi juga, saya mau tanya: apakah bagi Mas Dedy puisi yang berima dan berirama itu selalu lebih indah?
 
Dedy Tri Riyadi: tergantung zaman sepertinya, sekarang banyak puisi free verse atau bebas. Tidak perlu berima atau menjaga metrum supaya ada irama. Meski saya suka menulis puisi bebas, tapi karena ada pengaruh dari pembacaan terhadap puisi-puisi lama, seringnya muncul niat membuat rima atau menjaga pemenggalan kata supaya bisa terjadi irama ketika membacanya.
 
Ina Minasaroh: Saya mengamini itu, Mas. Saya sendiri suka yang berima dan berirama, tapi kadang juga bikin yang bebas aja. Terima kasih banyak, Mas Dedy. Salam bahagia.
***
 
Okta Piliang: Mau tanya nih, eksplorasi apa saja yang Mas Dedy Tri Riyadi lakukan untuk membangun puisi baik tema dan kelengkapan lainnya.
 
Dedy Tri Riyadi: Berat banget pertanyaannya, Pak. Jujur, saya menjelajah pada banyak (beberapa, sebenarnya) puisi dan penyair. Meski terbatas karena kelambatan saya membaca dan mencerna bacaan. Belajar mengamati, tema apa saja yang sudah digali, bagaimana cara mereka menggali tema tersebut, adakah bentuk-bentuk baru dalam puisi, seperti kita tahu ada puisi media sosial yang mirip aforisma, lalu mencoba mengukur diri, apakah saya bisa begitu? Lebih seringnya, bahan bacaan bisa menimbulkan keinginan menggarap satu tema tertentu.
 
Okta Piliang: Mas Dedy Tri Riyadi. Bukan berat itu Mas. Pertanyaan umum. Ahai! Siplah. Selamat berkarya terus Mas Dedy
***
 
Maulidan Rahman Siregar: Pak, kalau emang benar kamu moody, trus pas gak mood itu ngapain? Apakah ada perasaan menyesal tidak bisa melahirka karya dalam hari-hari itu, atau, udah biasa aja? Dua, kiat-kiat agar bisa melahirkan momen puitik dong pak. Kamu kuat di sana. Nuhun.
 
Dedy Tri Riyadi: Ada banyak kegiatan yang saya lakukan kalau sedang tidak mood menulis, Bos. Main game online, medsos-an, main tanaman, baca buku (meski kebanyakan pdf), menerjemahkan puisi. Sekarang, kalau tidak sedang menulis, saya menerjemahkan meski sepenggal. Saya biasa untuk tidak meracau ketika menulis puisi. Seringnya puisi yang saya buat tidak sekali duduk jadi. Sering banget saya merevisi kata-kata dalam puisi. Yang sudah jadi dihapus pun ada, banyak.
 
Maulidan Rahman Siregar: kalau begitu, ada pertanyaan lanjutan pak. Pertama, game apa? Game yg ada pengaruhnya sama puisi”an atau emang kayak game kebanyakan? Dua, dalam proses revisi itu, paling lama untuk satu puisi berapa lama revisi pak? Pernah sampai setahun kah? Demikian pak.
 
Dedy Tri Riyadi: tergantung mood juga main game apa. Lebih tepatnya kapasitas ponsel. Haha. Tidak ada hubungannya game itu dengan puisi. Ada revisi puisi yang dua tahun, itu terjadi karena saya kekurangan bahan untuk naskah, dan saya lihat ada puisi lama yang bisa diutak-atik supaya pas.
 
Maulidan Rahman Siregar: jadi potongan puisi lama ditambal sulam ke puisi yang akan ditulis itu ya pak? Ok, cukup.
Dedy Tri Riyadi: tepatnya dimodifikasi jadi baru.
***
 
Santi Maulana Aria: Boleh beri saran, motivasi atau apalah buat penyair muda?
 
Dedy Tri Riyadi: saya tiba-tiba teringat pada film Finding Nemo di mana Dory berkata, “Keep swimming. Keep swimming.” Jika memang sudah jatuh cinta pada puisi, ya bergairahlah pada puisi. Baca puisi-puisi senior-senior, gali dan resapi beragam teori menulis puisi. Lalu, menulislah. Menulis tentang apa saja, dengan gaya puisi apa saja, sampai, pastinya, menemukan kekhasan sendiri.
***
 
Mohammad Latif: Kak, Saya masih pemula dalam dunia kepenulisan terutama dalam menulis puisi, dalam menulis saya selalu kehilangan fokus kak terus bagaimana caranya mengolah diksi dengan baik dan membuat pengungkapan-pengungkapan yang baru dalam puisi?
 
Dedy Tri Riyadi: sudah saya jawab di atas sebenarnya. Kejelian dalam mengamati peristiwa, dan bersabarlah ketika menggarapnya.
Mohammad Latif: oohh iya siap kak.
***
 
Dian Rijal Asyrof: Pak Ded, ada rekomendasi buku untuk orang yang baru mulai nulis puisi?
 
Dedy Tri Riyadi: Bisa dilihat jawaban saya sebelumnya.
Dian Rijal Asyrof Dedy Tri Riyadi siap, skrol dulu pak hwhwhw.
***
 
Kang Bondet (Sigit Susanto): Wuuh luar biasa……seru banget tanya jawabnya. Terima kasih Kang Dedy Tri Riyadi dan teman2 yg antusias bertanya. Cak Nurel Javissyarqi, perlu dipikirkan, jika tanya jawab ini dikopipaste dan dijadikan satu kompilasi, kasih tajuk Tanya Jawab dengan Penyair Dedy Tri Riyadi, unggah di blog sastra, akan cemerlang, karena pertanyaan sangat variatif. Aku dah baca semua tanya jawab dari atas sampai kini. Aku ikut bertanya: 1) Kadang kala penulis dalam posisi sedih, serba kekurangan, brockenheart, melahirkan karya yang bernas, tetapi sampean kayaknya sebaliknya, perlu menata emosional dulu, jika sampai pada tahap mood, tanpa kendala, baru let`s write….why? 2) Neruda nulis puisi pertama saat ia menolong angsa akan mati karena tertembak, momen2 itu ia tulis, terasa beda bahasanya; adakah peristiwa serupa pada sampean? 3) siapa pembaca karya sampean yg terbaik? kenapa? 4) saya sering menemukan, penyair kalau menuliskan biodata di halaman belakang buku, kayak novel, panjang, padahal karya puisinya pendek2, kebalikannya, novelis/prosais biasanya nulis biodatanya di hal akhir kayak puisi pendek, apa karena sudah capek menulis prosa dgn napas panjang? apakah sampean menangkap gejala seperti itu? 5) Bagaimana sampean melihat banjirnya perangkat digitalisme dlm sastra? James Joyce pernah memberi resep menulis karya sastra sebaiknya kembali ke Omphalus (Pusar Bumi) di Delphi, Yunani, sebab itu ia menulis Ulysses sbg recycling Odyssey, pun dimas Kafka bersaran, bacalah karya2 klasik seperti karya Goethe, karena di sana akan muncul kemilaunya, dibandingkan karya modern yg kinclong, tapi sesaat. terima kasih.
 
Dedy Tri Riyadi: Kang Bondet alias Mas Sigit terkasih; 1. Mengambil jeda dari emosi yang menyala-nyala sebelum menulis memberi kesempatan bagi kita untuk lebih jeli mengamati apa yang sebenarnya ingin kita sampaikan. Paling tidak, supaya tulisan kita tidak jatuh seperti berita. Apalagi menulis puisi yang sepatutnya hemat kata lagi bisa menimbulkan momen puitik bagi pembaca juga. 2. Mungkin saya termasuk sebagai penulis yang sulit memberi respon cepat pada suatu peristiwa, jarang sekali ikut proyek antologi bersama dengan tema tertentu. Kalaupun mengirim karya biasanya yang saya kirim yang kira-kira masih satu tema. Sewaktu orang ramai menggelorakan derita pengungsi Rohingya, saya ikut mengirimkan 1 puisi, yang isinya tentang diamnya Aung San Suu Kyi. Namun inj mungkin tidak persis seperti Neruda dan angsa mati itu. 3. Mas Sosiawan Leak pernah membacakan satu puisi saya di sebuah panggung, lalu dia bilang “Ini menarik.” Ini jika dimaksudkan pembacaan puisi karya saya. Namun jika yang dimaksud yang membaca betul dan berkomentar akan buku puisi karya saya, mungkin bisa dihitung jemari sebelah tangan. Buku-buku puisi saya hanya sekali diterbitkan dengan oplah kecil, sebagian banyak tersimpan di gudang karena tidak laku. Haha. 4. Beberapa minggu lalu, saya membaca biodata-biodata para penyair dan penulis lain, variatif sih, ada yang sampai 2 halaman A4, ada yang 3, ada juga yang hanya satu kalimat. Rasanya selera ya itu. Mungkin kebiasaan menulis daftar riwayat hidup dan punya banyak penghargaan memengaruhi cara dia menulis biodata. Saya pribadi terbiasa menulis biodata pendek; nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, mukim di mana, berkegiatan apa, dan buku terakhir digarap (sebagai promosi). 6. Nah, ini menarik. Platform menulis itu sudah banyak sekali dalam dunia digital (internet), demikian juga sumber bacaan dan inspirasi. Namun, masa lalu dan masa depan sebenarnya berkesinambungan. Menggali karya lama (saya juga melakukannya) adalah cara untuk membuat peta. Wilayah mana masih merupakan terra incognita untuk kita bercokol. Saya rasa semua penulis melakukan penggalian ke masa lalu itu. Inspirasi dari digital sebenarnya juga ada. Penemuan bahwa durasi baca/lihat di digital yang cenderung singkat melahirkan puisi-puisi pendek yang menuntut penyair berpikir keras menciptakan deretan kata yang benar-benar memorable. Terima kasih kembali Mas Sigit.
 
Nurel Javissyarqi: Siap Mas Sigit Kang Bondet…
Kang Bondet: naik pangkat penulis dan re-writer tanya jawab penyair dan penanya. Dan untuk Dedy Tri Riyadi terima kasih, cakep jawabnya.
Nurel Javissyarqi: Mas Sigit Kang Bondet, tapi aq ijek pancet, tukang posting
Kang Bondet: nanti ada postingan-award, redaktur independence tanpa sensor.
 
Nurel Javissyarqi: dari pengalaman dulu awal munculnya obrolan2 di fb awal terus aq unggah ke web n blog, sepertinya masih perlu dirapikan Mas Sigit, agar pembaca fokus k pembahasan… yg penting linknya disertakan… begitu aq kira…
***
 
Khansa Arifah Adila: Pak Dedy Tri Riyadi, bila kita menulis puisi masih kuat terpengaruh gaya puisi lama seperti pantun, syair, gurindam dan lain-lain apakah berarti kita belum kreatif?
 
Dedy Tri Riyadi: tidak juga bisa dibilang belum kreatif. Eksplorasi haiku contohnya yang dilakukan oleh Jack Kerouac hingga melahirkan haiku Amerika atau lahirnya Puisi Imajisme Pound juga terpengaruh dari haiku. Konon, pantun juga dieksplorasi menjadi French Pantoum dalam literasi Perancis. Dalam buku Berlatih Solmisasi saya menggunakan pola macapat untuk menghasilkan puisi. Adaptasi pada jumlah suku kata (guru wilangan) dan rima (guru lagu) saya coba berdayakan kembali.
 
Khansa Arifah Adila: terimakasih, Pak…
***
 
Ridho Daffa Fadilah: Izin bertanya, Mas Dedy. Jika dalam membuat puisi ada pakai teori, mas dedy suka pakai teori apa?
 
Dedy Tri Riyadi: Teori berpuisi itu ada, dan pada masanya digunakan. Misalnya puisi itu ditulis dengan rima, irama, dibentuk berlarik-larik dalam satu bait, berbait-bait dalam satu judul, dan lain sebagainya. Di masa sekarang, dengan maraknya free verse atau open form, ikatan-ikatan dalam teori itu sudah tidak bisa digunakan lagi. Namun ada hal lain yang membedakan puisi dengan prosa, meskipun pada beberapa bentuk puisi seperti balada atau prosa liris itu hampir seperti prosa, salah satunya adalah bahwa puisi menggunakan kata-kata figuratif, metafora, lambang, yang biasanya terbentuk dari pengalaman penyairnya. Belum lagi jika masuk ke telaah struktur yang menurut I.A. Richard sebuah puisi ada sense (pemantik, tema), feeling (perasaan penyair ), tone (sikap penyair), serta intention (amanat, tapi saya lebih suka dengan cita-cita), jelas ini akan membedakan puisi dengan prosa tanpa lagi menyinggung aturan / ikatan fisik penulisan. Dalam prosa, feeling dan tone dilebur dalam sikap dan percakapan tokoh-tokohnya, dalam puisi dinyatakan langsung (biasanya sebagai aku-lirik). Teori semacam ini yang saya ikuti. Meski ketika prakteknya, saya pribadi lebih menganggap menulis puisi seperti melukis atau membuat kolase.
 
Ridho Daffa Fadilah: wah, begitu ya, mas. Baik, saya dapat pengalaman baru. Terima kasih, Mas Dedy.
***
 
Doni Suseno: Om Dedy, mana yang lebih susah: menulis puisi pendek atau panjang? (Kenapa?). Salam.
 
Dedy Tri Riyadi: Sebenarnya, hemat saya, panjang-pendek sebuah puisi tidak bisa diukur secara terpisah kesulitannya. Lebih kepada kebutuhan saja ketika menuliskannya, apakah memang pas untuk dibuat pendek atau lebih mengalir jika dituliskan panjang. Saya pribadi lebih senang menulis puisi pendek. Mungkin dikarenakan saya orangnya tidak pandai untuk menceritakan sesuatu dengan lancar dan runut. Namun dalam sejarahnya, puisi-puisi pendek seperti haiku memerlukan upaya tersendiri karena faktor ikatan fisik seperti jumlah suku kata, penempatan kigo, atau kireji-nya. Demikian juga dengan tembang macapat yang pernah saya coba di buku Berlatih Solmisasi ada ukuran guru lagu dan guru wilangan yang harus ditepati sehingga pemilihan kata yang tepat menjadi kesulitan tersendiri.
***
 
Subuh Algazali: Kak Dedy Tri Riyadi apa bedanya puisi sma syair…
 
Dedy Tri Riyadi: ungkapan syair umumnya ditujukan pada puisi-puisi lama (melayu, dan dari khazanah islam) yang ditulis dengan pola tertentu (baik jumlah larik dalam bait, pola rima tertentu di ujung lariknya), berisi nasehat, sejarah. Dan dengan kekhususan pola itu, biasanya syair juga bisa dinyanyikan/ didendangkan dengan irama lagu tertentu. Puisi sekarang ini, cenderung lepas dari ketat aturan aturan penulisan seperti halnya syair.
 
Subuh Algazali: Meskipun agak sedikit bingung tapi aq paham gambaran besarnya, terimakasih guru.
***
 
Erwinsyah: Ijin nimbrung, baru baca status yang meriah ini. Dialog-dialog dalam komen juga sy baca, sy dapet jg pencerahan-pencerahan soal menulis puisi, Terimaksih pengetahuannya. saya baru mulai belajar nulis puisi.
***
 
Yuris Julian: Bagaimana agar tidak bosan dalam masa editing? Setidaknya puisi benar-benar saya kembangkan lagi dan merasa tidak puas.
 
Nurel Javissyarqi: ada pertanyaan Mas Dedy Tri Riyadi, kalaulah ada saat longgar monggo dijawab, matur suwon…
 
Dedy Tri Riyadi: saya ingat perkataan mas Joko Pinurbo bahwa puisi yang sudah selesai ditulis masih boleh diedit/direvisi. Jadi mengedit puisi sebenarnya bukan praktek yang dilarang. Jika merasa bosan, jalan-jalan, baca buku, nonton film, atau bersosialisasi. Atau seperti saya, memelihara tanaman. Menjauh sebentar dari puisi yang sedang/sudah ditulis, itu membuat kita tidak merasa diburu-buru sesuatu. Toh, puisi juga tidak akan kemana-mana. Baca puisi orang lain atau menerjemahkan puisi asing juga boleh. Berpuisi itu kan merayakan hidup, jadi kenapa harus merasa terbebani? Santai wae, mas... koyo karo sopo wae…
***

https://www.facebook.com/groups/229651897113749/permalink/3371963009549273/

https://sastra-indonesia.com/2020/11/wawancara-proses-kreatif-bersama-dedy-tri-riyadi/


No comments:

Post a Comment