Monday, June 21, 2021

Obrolan penerjemahan karya dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia bersama Sasti Gotama

 Wawancara di bawah ini, diambil dari Grup Facebook Apresiasi Sastra (APSAS) Indonesia


Sasti Gotama, kelahiran Malang, Jawa Timur, yang kini tinggal di Cilacap, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya dimuat di media Kompas, Tempo, Minggu Pagi, Fajar Makassar, Detik, Ideide, dll. Karya terjemahannya; “Bagaimana Berdebat dengan Kucing”, “Narsisme”, dan “Etika Ambiguitas” (Circa). Buku antologi bersama; “Mimpi-mimpi Erina” (Cerpen dan Puisi Nomine Anugerah Sastra Ideide.id 2020), “Pandemi” (ProsaDiRumahAja, Indonesia Kaya, 2020), “Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya” (2020), “Gagak, Kelelawar, dan Firasat-firasat” (2020). Antologi tunggalnya; “Penafsir Mimpi” (2019). “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?” (2020) menjadi salah satu buku Karya Sastra Rekomendasi Tempo 2020.
***
 
Nurel Javissyarqi: “Pagi, Mbakyu Sasti Gotama, selamat beraktivitas. Melirik postingan2 sampean di facebook (fb), dan karya-karya yang sudah diterbitkan, sepertinya sibuk banget dalam mengisi waktu sehari-hari; menulis catatan, bercengkrama di fb, berkegiatan menerjemahkan, di sini lain berprofesi sebagai dokter umum. Sekecilnya, dari ketiga kegiatan itu sangatlah padat, karena senantiasa dirawat lewat napas-napas permenungan dalam, sebagaimana mengunyah makanan demi kelangsungan proses terbaik yang terus berjalan. Sehingga timbullah pertanyaan, 1. Bagaimana mengatur jadwal yang begitu rapat? 2. Sejak kapan menekuni alam terjemahan? Dan atas dorongan apa, hal itu awal kali hadir? Oya, dari lawatan menerjemahkan, tentu peroleh banyak manfaat pengetahuan yang didapat, pertanyaan ke 3. Berapa besar pengaruh dari ‘kesuntukan’ menerjemahkan, di atas pengembaraan diri sebagai penulis? Sementara itu dulu, nanti dilanjut lainnya, suwon sanget...”
 
Sasti Gotama: “Selamat pagi, Mas. Maturnuwun sudah diberi kesempatan sekali lagi hadir di Apsas.
Langsung saya jawab sebisanya ya:
1. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya dalam kesempatan lalu di Apsas, saya sudah resign dari ASN bulan Agustus tahun lalu. Sekarang lebih berkosentrasi mengurus pendidikan anak yang belajar dari rumah selama pandemi. Walaupun begitu, menurut saya lebih sibuk sekarang, hehehe. Untuk menerjemahkan, saya mengatur waktu khusus setiap harinya, minimal 3-4 jam, tetapi waktunya fleksibel, ketika pekerjaan yang lain sudah terselesaikan.
2. Sejak tahun 2019. Awalnya, karena saya menyukai karya-karya fiksi maupun nonfiksi berbahasa Inggris. Kebetulan sempat bertemu dengan Kang Tia Setiadi di tahun 2019, dan alhamdulillah mendapatkan kesempatan dari beliau untuk coba menerjemahkan buku.
3. Kesuntukan menerjemahkan? Maksudnya apakah menerjemahkan membuat jenuh? Sejujurnya, proses menerjemahkan karya malah memberikan keuntungan bagi saya dalam menulis. Kadang, apa yang saya terjemahkan memberi inspirasi tulisan-tulisan saya berikutnya. Menerjemahkan juga melatih saya memahami struktur-struktur kalimat, dan bagaimana menyampaikan ulang gagasan dengan sebaik-baiknya agar mudah dimengerti.
Sementara itu dulu, Mas, hehehe. Sugeng enjang menjelang siang.”
 
Nurel Javissyarqi: “Wah, ternyata saya kurang cermat menyimak obrolan sebelumnya, mengenai sampean sudah undur diri dari ASN. Dan tidak tepat pula memakai ungkapan kata ‘suntuk’ sebagai pengganti kata ‘tekun’ maupun ‘khusyuk’ hehehe... Pertanyaan selanjutnya ke Mbak Sasti Gotama, 4. Seperti apa atau bagaimana cara sampean menenangkan diri sebelum berkarya, selain membaca buku, apakah menikmati pemandangan alam, mendengarkan lagu atau menonton film?”
 
Sasti Gotama: “Biasanya kebalikannya, Mas. Biasanya saya berkarya kalau pikiran sedang penuh atau tidak tenang, hehehe. Dan menulis adalah cara untuk mendapatkan ketenangan.”
 
Nurel Javissyarqi: “Wah, menarik itu, menulis sebagai terapi untuk menenangkan diri... sepertinya saya belum berani mencobanya, sebab ada kekhawatiran unsur-unsur ketidaktenangan membekas pada hasil-hasil tulisan, atau mungkin itu hanya kekhawatiran saya saja... Oya, tetapi saat merevisi tulisan, Mbakyu sudah dalam keadaan tenang kan?”
 
Sasti Gotama: “Inggih, Mas. Editing biasanya setelah satu dua hari diendapkan. Begitu juga menerjemahkan. Setelah menerjemahkan, biasanya saya baca ulang dan sunting beberapa kali.”
 
Nurel Javissyarqi: “Terima kasih atas jawabannya Mbakyu, suwon sanget...”
 
Sasti Gotama: “Sami2.”
***
 
Patricia Pawestri: “Mbak Sasti, bagaimana prosesnya saat menerjemahkan karya Simone de Beauvoir?”
 
Sasti Gotama: “Hai, Pat. Makasih pertanyaannya. Awalnya, aku membaca edisi bahasa Inggrisnya. Kemudian dari pembacaan itu, aku menemukan Simone banyak membahas teori-teori dari filsuf lain seperti Hegel, Marx, dan tentu saja Sartre. Untuk memahami lebih lanjut, aku membaca tulisan Simone lainnya, juga tulisan tentang Hegel, Sartre, dll. Baru dua minggu kemudian, aku mulai menerjemahkan Etika Ambiguitas. Selama penerjemah itu, aku melakukan banyak diskusi dengan senior atau rekan-rekan penulis, teman-teman dari jurusan bahasa Inggris, dan kawan-kawan lulusan filsafat. Karena menerjemahkan Simone ini bagiku, tidak hanya sekadar menerjemahkan bahasa, tetapi juga harus memahami apa yang ia maksudkan, juga hal-hal subteks yang terkandung di sana. Dan setelah penerjemahan selesai, kulakukan pembacaan ulang. Kalau tak salah, aku membaca ulang delapan atau sepuluh kali buku itu, hehehe. Mungkin itu dulu, Pat.”
 
Patricia Pawestri: “Wah, mengagumkan. Tahapannya banyak banget, ya. Sepertinya bisa untuk modal jadi pembicara di ruang kuliah filsafat itu, Mbak. Hihi.”
 
Sasti Gotama: “Biyuh, belumlah...”
 
Patricia Pawestri: “Optimiizz ...”
***
 
Sigit Susanto: “Mbak Sasti Gotama, aku hanya baca buku Mbak Simone cuma 1, Amerika, Siang dan Malam. Kisah Simone keliling Amerika memberi ceramah di kalangan seniman. Ia ketemu pacar baru orang Amerika, ketika ia kembali ke Paris, gabung dengan Sartre lagi, dan sang pacar menyusul ketemu Sartre, sempat gak enak rasa. Tak lama aku baca, ternyata buku itu difilmkan dan aku tonton di TV. Ada sensor rupanya di film. Di buku, Simone saat bercinta dengan pacar Amerika ngaku, baru kali ini aku bisa orgasme. Di film dihapus. Nah, apakah pada karya Etika Ambiguitas itu tampak Simone begitu terbuka seperti pada buku yang kubaca?
Tanya yang ke 2: Di mana letak kesulitan teksnya Mbak Simon dan Mas Freud? Judul bahasa Inggrisnya karya Mbak Simon yang sampean terjemahkan menjadi Etika Ambiguitas itu apa ya? Trims.”
 
Sasti Gotama: “Kesulitan Freud bagi saya di struktur kalimatnya yang kompleks dan penggunaan istilah-istilah khusus yang memang dipergunakan oleh Freud di masa itu yang tidak lagi dipergunakan di dunia psikiatri saat ini. Sedangan Simone, kesulitannya adalah saat memahami konsep abstrak yang ia paparkan, baik gagasannya sendiri atau gagasan filsuf-filsuf lain. Dalam bahasa Inggris, buku Simone itu berjudul: Ethics of Ambiguity. Terima kasih pertanyaannya Mas. Semoga berkenan dengan jawabannya.
 
Sigit Susanto: “Terima kasih Mbak Sasti, ya maksudku karya Simone de Beauvoir yang Etika Ambiguitas itu, sudah kutemukan sampulnya, kapan-kapan cari bukunya, semoga.”
 

 
Sasti Gotama: “Mungkin maksudnya di buku Simone yang Etika Ambiguitas, ya, Mas? Di buku itu, Simone banyak membahas buah pikiran filsuf lain seperti Sartre, Kant, Hegel, Marx, dll. Tentu saja lebih banyak porsinya tentang eksistensialisme yang diusung Sartre. Namun bagi saya, cara Simone menjelaskan dalam buku itu lebih mudah dipahami daripada penjelasan Sartre. Dalam buku ini, Simone tidak membahas kehidupan pribadinya, apalagi tentang kehidupan percintaannya. Ia lebih banyak membahas manusia itu sendiri, yaitu tentang karakteristik-karakteristik manusia dalam menjalankan transendensinya, seperti subman, seriousman, nihilis, adventurer, dst. Saya malah penasaran dengan film yang Mas sebutkan. Judulnya apa ya?”
 
Sigit Susanto: “Ini buku yang kubaca dalam bahasa Jerman, judul: Amerika: Siang dan Malam. Judul filmnya sama, kutonton di TV Jerman.”
 

 
Sigit Susanto: “Kalau buku Freud aku punya yang Mimpi, cuma belum baca, hanya pernah mampir ke rumahnya di Wina, Austria, ternyata rumahnya dijadikan Kafe Freud, tentu dengan asesoris buku karyanya dijual di sana. Tak jauh dari rumahnya ada taman Freud, berada di tengah kota Wina.”
 

 
Sasti Gotama: “Wah, menyenangkan sekali. Semoga suatu saat saya bisa ke sana juga.”
***
 
Esti Nuryani Kasam: “Sudah dijelaskan di atas, menterjemahkan memberi banyak manfaat untuk proses kreatif Anda. Nah, adakah sisi ketidaknyamanannya? Misalnya mengurangi waktu Anda menulis karya sendiri?”
 
Sasti Gotama: “Makasih, Mbak. Betul. Kadang masalahnya bukannya tidak ada waktu, tetapi karena karakter dan struktur tulisan terikut dengan pola penulis yang sedang diterjemahkan. Misalnya, saat menerjemahkan Simone, secara tidak sadar, struktur kalimat yang saya gunakan terpengaruh gaya Simone yang mungkin lebih cocok untuk menulis non fiksi.”
***
 
Shiny Ane El'poesya: “Mbak Sasti Gotama tanya. Bagaimana mengurus izin penerjemahan dan penerbitannya?”
 
Sasti Gotama: “Izin penerjemahan yang mengurus bukannya pihak penerbit ya, Mas? Kalau karya yang saya terjemahkan, saya mendapat naskah berbahasa Inggris dari penerbit Circa dan saya hanya menerjemahkan saja. Jadi, bukan saya yang mengajukan naskah.”
 
Shiny Ane El'poesya: “Ohh berarti sejak awal naskah dipilih oleh Circa, atau bagaimana?”
 
Sasti Gotama: “Betul. Naskah tersebut yang memilihkan pihak penerbit. Saya hanya menerjemahkan saja.”
 
Shiny Ane El'poesya: “Oh ok. Danke Mbak.”
 
Sasti Gotama: “Sami2.”
 
Sigit Susanto: “Tentang copyright karya, setahuku ada peraturan yang disebut Convention Bern, yakni sebuah peraturan memberi kebebasan karya untuk diterbitkan ulang oleh siapa saja atau diterjemahkan oleh penerbit manapun, asal statusnya sudah menjadi public domain, waktunya 70 tahun setelah pengarangnya meninggal. Jika belum lewat dari 70 tahun, karya masih belum berstatus public domain, sehingga siapa saja yang menerbitkan maupun menerjemahkan wajib membeli copyright. Mbak Simon meninggal pada 14 April 1986, public domain akan jatuh pada tahun 2056. Mungkin Circa sudah membeli copy rightnya.”
***
 
Buku-buku terjamahn karya Sasti Gotama:
 






***

http://sastra-indonesia.com/2021/06/obrolan-penerjemahan-karya-dari-bahasa-inggris-ke-bahasa-indonesia-bersama-sasti-gotama/

No comments:

Post a Comment