Wawancara di bawah ini, diambil dari Grup Facebook Apresiasi Sastra (APSAS)
Indonesia
Sigit Susanto: “Buat Mas Yogas Ardiansyah, saya sangat senang jika
karya-karya sastra dari 2 bangsa, Prancis dan Jerman bisa dialihbahasakan ke
bahasa kita. Alasannya, kedua bangsa bersebelahan itu banyak sekali melahirkan
peraih nobel dan karya sastranya betul-betul menjadi inspirasi pengarang lain.
Saya berkenalan dengan sastra Prancis dengan membaca Education Sentimentale,
juga Perjalanan ke Mesir - Flaubert, disusul Siang dan Malam di Amerika -
Simone de Beauvoir, Pest-nya Camus. Pertanyaan saya, 1). Apakah kemudahan
mengalihbahasakan ke bahasa kita, mengingat bahasa Prancis mirip bahasa Jerman
yang ada subjek hirarkis antara kamu dan Anda? 2). Apakah lulusan sarjana
sastra Prancis kita nasibnya seperti bahasa asing lain yang enggan menekuni di
bidang terjemahan sastra? 3). Apa kekhasan sastra Prancis yang membedakan dari
pengarang belahan bangsa lain? 4). Semoga Moooi Pustaka kelak menerjemahkan
karya Edouard Dujardin yang berjudul Les lauriers sont coupes. Buku ini sangat
berpengaruh besar di tahun 1920-an di Paris, karena dipakai menutup novel
Ulysses karya James Joyce pada bab 18 (akhir), dikenal sebagai ‘monolog-interior’,
kala itu Joyce membeli di kios, sebagai buku yang tidak dikenal, akhirnya buku
ini diburu dan Dujardin masih hidup berterima kasih kepada Joyce. 5). Mas Warih
Wisatsana mungkin bisa sharing, berbagi kisah sebagai editor karya Sartre,
terjemahan Bli Made di Bali alias Jean Couteau. Terima kasih.
Yogas Ardiansyah: “Pak Sigit, saya ucapkan terima kasih terlebih dahulu
atas kesempatan buat saya berbagi pengalaman dalam menerjemahkan, khususnya
dari bahasa Prancis menuju bahasa Indonesia dalam forum ini. Boleh jadi kita
baru berkomunikasi bulan-bulan belakangan ini. Tapi sebetulnya, saya sudah
kenal dan ikut acara njenengan sejak sekitar sepuluh tahun lalu. Suatu kali,
seorang kawan mengajak saya dolan ke Boja, ke rumahnya, sebab dia bilang, di
dekat dia tinggal, ada sebuah perpustakaan yang rutin mengadakan acara
literasi. Dan malam itu, dia bilang akan hadir Pak Ahmad Tohari, begawan sastra
kita yang bermukim di Kabupaten Banyumas. Saya setengah tak percaya,
sebetulnya. Bagaimana mungkin sebuah perpustakaan desa bisa mendatangkan
seorang Tohari. Tapi toh saya tetap berangkat. Itung-itung jalan-jalan. Maka
sorenya kami menempuh perjalanan dari Kampus Unnes di Gunungpati menuju Boja,
melintasi jalan naik-turun, berkelok-kelok, menyuguhkan panorama bukit, hutan,
sawah dan pemukiman silih berganti. Jauh sekali, rasanya. Tapi menyenangkan,
suasananya. Yang lebih menakjubkan lagi, di perpus itu -sebuah rumah tinggal
kecil, rumah keluarga Pak Sigit, yang kamar-kamarnya disulap menjadi tempat rak
buku dan halaman sampingnya menjadi tempat pertemuan sederhana, telah ramai
orang berkumpul. Meriah. Bukan hanya anak-anak muda, tapi juga orang-orang tua,
yang rasanya amat sangat jarang terlibat dalam acara demikian. Hingga tiba
waktunya, sosok Ahmad Tohari itu betul-betul muncul, tersenyum ramah ke arah
kami yang menunggunya. Berkemeja batik coklat, sang pengarang itu segera
menyatu dan membaur bersama kami, bercerita, menjawab pertanyaan teoretis
ataupun pertanyaan iseng yang diajukan kepadanya. Saya hanya melongo saja, tak
bertanya, sebab masih belum percaya di depan saya ada Tohari sang idola. Hingga
acara selesai, saya tak berani bahkan untuk sekadar menyapanya. Demikianlah.
Acara itu menjadi awal saya untuk mengikuti acara di Pondok Baca Guyub, yang
dikemudian hari juga mendatangkan Remy Silado dan almarhum Pak Iman Budhi Santosa.
Untuk kenangan masa itu, saya juga mengucapkan terima kasih Pak Sigit.
Dan berikut jawaban atas beberapa pertanyaan Pak Sigit.
1). Sejujurnya proses penerjemahan yang saya lalui, lebih berisi kesukaran
daripada kemudahan. Betapa tidak? Saya hanya seorang pembelajar bahasa asing
itu di kampus, belum pernah hidup dan bergaul dengan orang serta budayanya, dan
langsung berhadapan dengan seorang Anatole France. Singkat cerita, hanya modal
nekat dan tekun saja, saya bisa mengatasi hambatannya satu demi satu. Atau
kebetulan, sebelumnya saya pernah membaca roman klasik Prancis -bandingkan
dengan Pak Sigit yang awal mula sudah membaca penulis kontemporer macam
Flaubert, Jean Paul Sartre, dan Simone de Beauvoir. Sayangnya, saya “babar blas”
tak mengerti bahasa Jerman, jadi tak bisa membandingkannya dengan bahasa
Prancis. Prancis memang mengenal tu (orang kedua tunggal) dan vous (orang kedua
jamak, atau orang kedua tunggal bernuansa resmi ataupun kesopanan/la
politesse). Kau, dan Anda, secara sederhananya dalam bahasa Indonesia, Kowe dan
Panjenengan, dalam bahasa Jawa kita. Ada pergeseran pemakaian Tu (ber kau-kau)
dan Vous (ber Anda-Anda). Sekarang, Tu dipakai dalam konteks akrab, dewasa
kepada yang lebih muda, satu keluarga, dan Vous, sebaliknya. Tapi dalam
beberapa roman lama, suami-istri (pasangan) ternyata juga memakai Vous -padahal
akrab dan keluarga. Juga ada sedikit perbedaan pemakain kesopanan : bila anak
kepada orang tua di Jawa memakai bentuk sopan, maka di Prancis, anak dan orang
tua memakai bentuk akrab, ber tutoyer, ber kau-kau. Demikianlah, konteks
hirarkis dalam bahasa ternyata tak selalu sama dan sebanding. Bagaimana dengan
bahasa Jerman? Meski Mbak Tiya dan Pak Sigit saling bertukar jawab dalam sesi
lalu, toh saya kurang terlalu mengerti juga.
2). Ini pertanyaan terhadap situasi yang Pak Sigit sudah pirsa sendiri.
Kenyataannya memang demikian : sedikit peminat pada bidang penerjemahan,
artinya yang mau menerjemahkan. Bahkan meski susastra Prancis menawarkan lautan
teks dan pemikiran yang semestinya bisa digali. Kita bisa mendapati beragam
penyebab, tapi saya meraba wajah sendiri saja : bahwa duduk empat-lima jam
sehari bergelut dengan teks dan kamus bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah
dikerjakan. Kabar baiknya, ternyata ada juga satu-dua kawan yang semangat dan
antusias sekali melakulannya. Terutama lagi, sebisa mungkin menerjemakan dari
bahasa sumbernya. Bersama kawan-kawan ini, saya merasa tidak sendiri, sekaligus
terus saling menyemangati. Semoga habitat kecil ini bisa berkembang sebagaimana
mestinya.
3). Dari sisi kebahasaan, Prancis menawarkan bentuk tuturan dan narasi yang
sama sekali berbeda dengan cara orang Indonesia bercerita dan menulis. Bagi
sesama orang bangsa Eropa, mungkin tidak masalah. Tapi bagi pembaca Indonesia,
kalimat panjang berliku bisa jadi menyulitkan, bagi yang belum terbiasa.
Seperti yang Pak Sigit sudah tahu, ciri khas susastra bangsa Prancis adalah,
salah satu dan bagi saya yang terutama, adalah keberanian menabrak dan
mempertanyakan, bahkan terhadap hal yang bagi sebagian orang amat sakral, agama
misalnya, seperti yang diungkapkan Mbak Ida tempo hari. Selain itu, sesuai
filosofi tentang ke-aku-annya, susastra Prancis meletakkan akal dan logika di
atas segalanya, meski tak seluruhnya, seperti ungkapan Rene Descartes yang
dikutip di mana-mana : je pense donc je suis.
4) Amin, semoga, Pak. Menurut Ketua Genk-nya, Moooi punya banyak calon
naskah berbahasa Prancis yang ingin dialihbahasakan. Ini tentu saja kabar baik,
artinya akan peluang bagi kawan-kawan yang berminat menerjemahkan. Lalu yang ke
5). Dan lagi-lagi saya hanya bisa mengucapkan terima kasih, atas kebaikan hati
Pak Sigit, saya bisa sekadar berkenalan dengan Pak Jean Couteau. Sesekali kami
bertukar sapa. Beruntung saya bisa bisa belajar dari tokoh seperti beliau.
Terima kasih.”
Sigit Susanto: “Merci, matur nuwun, terima kasih banyak.”
***
Sigit Susanto: “Pertanyaan terakhir jelang lebaran: Apakah kisah penyair
klasik Rimbaud (Di Indonesia bisa jadi nama Ribut) ini benar-benar pernah
disewa sebagai serdadu oleh pemerintah Belanda untuk ditempatkan di Indonesia.
Pada buku ini disebut Mas Ribut pernah latihan baris-berbaris dari Muncul ke
Salatiga. Menurut sampean, apakah cerita ini benar adanya? Jika tidak, kenapa Kedubes
Prancis di Jakarta kabarnya saat ultah Prancis memakai bekas rumah Mas Ribut
ini di Salatiga. Kalau Balzac in Java yang ditulis oleh penulis yang sama
dengan Ribut ing Jowo, Balzac sebatas fantasi. Terima kasih banyak.”
Yogas Ardiansyah: “Rimbaud jadi Ribut. Cocok, Pak. Atau bisa juga Rembo.
Tapi agak tidak cocok, sebab sosok Rambo itu tentara gagah berani, sedangkan
Rimbaud tentara cemen, desersi pula. Namanya juga pelokalan, pasti ada
mleset-mlesetnya. Soal Rimbaud pernah mampir di Salatiga, rasanya saya pikir
betul. Seperti yang Njenengan bilang, pemerintah Prancis sampai perlu memasang
plakat di gedung yang disinggahinya. Yang saya tak faham, mengapa hanya di
Salatiga -hanya dua minggu saja pula. Logikanya, pasti dia juga pernah ke
Semarang, atau Magelang atau Jogja (lewat mana kalau ke Salatiga selain tiga
kota besar ini di masa itu). Ini saya yang tak tahu, dan jujur saja saya belum
membaca buku itu. Saya juga tak banyak membaca syair Rimbaud, kecuali satu puisi
berjudul Perahu Oleng itu. Mungkin kita perlu belajar pada Pak Jos Wibisono
yang saya ingat pernah menulis panjang soal Rimbaud di Jawa, juga pada seorang
penulis asal Sulsel yang pernah meneliti kehidupan Rimbaud -saya lupa namanya. Tetapi,
membahas Rimbaud dan Balzac, terlepas perkara siapa yang pernah benar2 ke Jawa
dan siapa yang ngayal saja, bahwa Nusantara sudah memikat minat orang Eropa
sejak dulu kala. Kalau dibahas lebih lanjut, kita akan masuk ke dalam beragam
kajian, mulai dari Orientalisme hingga Kolonialisme sekaligus Post-nya, dan itu
akan menjadi diskusi yang puuuaaanjang. Alhamdulillah. Lagi-lagi, saya hanya
bisa mengucapkan terima kasih banyak, Pak Sigit. Je souhaite un tres bon
week-end pour vous et votre famille, en attendant la fin de Ramadan Kareem et
L’Eid Mubarak qui s'approche. Merci, Monsieur.”
Sigit Susanto: “Kebetulan kedua buku Balzac dan Ribut di Jawa itu sudah aku
baca. Celakanya kedua buku itu tidak dijual di toko buku kita di kota-kota
besar, melainkan di toko buku asing yang berada di bandara Internasional
seperti di Bali dan Yogyakarta. Pada buku Balzac ini jelas disebutkan, bahwa
Balzac sekadar membayangkan perempuan-perempuan Jawa yang dianggap eksotis pada
zaman itu. Jadi memang Balzac di Jawa sebatas fantasinya, tidak seperti
Rimbaud. Nah, siapa penulis 2 buku itu yang diterbitkan penerbit yang sama di
Singapura, seorang expatriat yang punya kafe di Kuta, Bali. Ia pernah ikut
acara Ubud Writers dan menerjemahkan 1 cerpennya Niduparas Erlang. Jadi
Niduparas Erlang mungkin bisa cerita pertemanannya dengan penulis. Tabik.”
Yogas Ardiansyah: “Dalam buku itu Balzac tak melulu bicara perempuan, Pak
Sigit. Dia juga ngomong panjang soal pohon Upas, yang menurut saya malah bagian
yang paling seru. Yang jarang diungkap juga adalah tradisi Rampog, adu manusia
melawan harimau. Dia singgung pula tabiat lelaki jawa yang ngamuk setelah mabuk
ciu atau candu. Balzac juga sedikit cerita soal lanskap alam Jawa, kisah
lumayan panjang mengenai gelatik, juga teh dan kopi di Jawa, dan soal buaya,
kawanan monyet beserta pawang2nya. Tapi yang paling menarik perhatian tentu
saja adalah soal perempuan. Maka seolah eksotika Jawa adalah tentang
perempuannya. Lumrah saja. Dia sendiri bilang, bahwa kenikmatan surgawi pria
Eropa menurutnya adalah, rebahan di teras terbuka ditemani semilir angin tropis
dan pemandangan hamparan padi, dihibur nyanyian gelatik, sambil menyeruput teh,
dan tentu saja, dalam dekapan perempuan Jawa. Bajinguk sekali dia menghayal. Oh
ya, Balzac juga menyinggung kelakuan Tionghoa pedagang yang mencurangi
pelanggannya. Dan, semua cerita tadi tidak sepenuhnya khayalan. Balzac dibantu
oleh catatan perjalanan yang dipunya oleh Grand Duc de Besancon, kalau saya tak
keliru. Sedang Rimbaud, hehe, begitulah, saya belum membacanya secara detail, jadi
tak bisa banyak bercerita. Trims, Pak.”
Sigit Susanto: “Betul, Balzac tidak melulu bicara tentang perempuan Jawa,
tapi perempuan Jawa dalam imajinernya. Sumber lain ternyata ia punya penerbitan
yang kemudian bangkrut. Sejalan dengan itu Mark Twain juga punya penerbitan dan
bangkrut. Twain keliling Eropa sambil bicarakan sastra dan kumpulkan dana atas
kebangkrutannya itu. Lawatannya ke Eropa menjadi buku berjudul Bummel durch
Europa (Kluyuran sepanjang Eropa) termasuk mampir ke kota Lucern, Swiss sempat
mendaki gunung Rigi di tepi danau Zug, dimana aku tinggal kini, sempat ia kesasar.
Kayaknya sastrawan merangkap punya penerbitan diikuti di kita, Eka Kurniawan
dengan Moooinya, Puthut EA dengan Mojoknya, Anton Kurnia dengan Penerbit
Bacanya, Kian Santang dengan Circanya. Majulah sastra kita.”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Labels
Adin
Aguk Irawan Mn
Akhmad Sofyan Hadi
Albert Camus
Andre
Annie Tucker
Anton Kurnia
Anwar Holid
APSAS (Apresiasi Sastra)
Audrian F
Baca Puisi
Bahrul Ulum A. Malik
Berita
Bernando J. Sujibto
Birgit Lattenkamp
Buku Pohon
Cak Bono
Catatan
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Didin Tulus
Dody Yan Masfa
Dwi Fitria
Eka Kurniawan
Endah Sulawesi
Ernest Hemingway
Esai
F Rahardi
F. Rahardi
Franz Kafka
Gaya Lufityanti
Gm. Sukawidana
Gunoto Saparie
Gus Noy
H Tanzil
Haris Firdaus
Heri CS
Herri Chandra Santoso
Iman Budhi Santosa
Indah Survyana
Interview
James Joyce
Jerman
Johannes Sutanto de Britto
Kampung Ciseel
Karl Marx
Kedai Roti
Kemah Sastra
Komunitas Lereng Medini (KLM)
Koskow
Kurnia Effendi
Latief S. Nugraha
lockdown
Lucern
Lucern Kota Mati
M. Lukluk Atsmara Anjaina
Mas Palomas
Metamorfosis
Milan Kundera
Muafiqul Khalid MD
Muhidin M. Dahlan
Nezar Patria
Nunung Deni Puspitasari
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Assyhadie
Pawang Surya Kencana
Perdebatan
Petik Puisi
Proses Kreatif
Puisi Terjemahan
Pulau James Bond
PUstaka puJAngga
Resensi
Rinto Andriono
Ronny Agustinus
Roso Titi Sarkoro
Ruth Martin
Sabine Müller
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Setia Naka Andrian
Setiyo Bardono
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sulistiono
Surat Ti Bali
Swiss
Tiya Hapitiawati
Triyanto Triwikromo
Ulysses
Umbu Landu Paranggi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayang di Salju
Wayang James Joyce
Yogas Ardiansyah
Yonathan Rahardjo
Youtube
Yusri Fajar
No comments:
Post a Comment