Wednesday, January 20, 2021

Obrolan Menerjemahkan Karya Sastra bersama Nunung Deni Puspitasari

 
: Wawancara ini diambil dari Grup Facebook Apresiasi Sastra (APSAS)
 
Nunung Deni Puspitasari, penerjemah yang juga menuliskan cerita pendek, dan cerita anak. Karya-karyanya pernah dimuat di media massa Indonesia, seperti Horizon, Jawa Pos, Bernas, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, dan Suara Merdeka. Ia juga Aktor Teater (saat ini masih terlibat aktif di Teater Gandrik Yogyakarta), dan mendirikan Teater Amarta di Yogyakarta. Buku-buku yang pernah diterbitkan: Murid Si Tukang Sihir, karya Evald Flisar (Novel, Araska Publishing, 2016) Mimpi Ayahku, karya Evald Flisar (Novel, Araska Publishing, 2018), Tiga Cinta (Novel Anak, Balai Bahasa, 2018), Pulung (Kumpulan Cerpen, Graha Cendikia, 2016), Planet Ke Sebelas, karya Evald Flisar (Naskah Teater, Basabasi Publishing, 2020), Kata-kata Di Atas Awan, karya Evald Flisar (Novel, Graha Cendikia, 2020), Peri Mengerikan di Hutan Seram, karya Jana Bauer (Novel Anak, Graha Cendikia, 2020).
***
 
Nurel Javissyarqi: Sebagai pembuka saya mengucapkan terima kasih yang sangat-sangat besar kepada para penerjemah karya-karya luar negeri ke dalam bahasa Indonesia, karena itu sungguh kerja yang niscaya berdaya manfaat untuk khazanah ilmu pengetahuan demi menambah nilai-nilai perkerti di Tanah Air Pertiwi. Terus terang saya lebih banyak membaca kitab2 atau buku2 karya terjemahan & secara berjarak semacam membayangkan keaslian karyanya disisi lain mempelajari kepribadian penulisnya. Sedang yang ingin saya tanyakan, 1. Apakah perlu mempelajari riwayat penulisnya terlebih dulu sebelum menyentuh karya2nya? 2. Bagaimana jika di dalam karya tersebut, misalkan ada buah-buahan yang ternyata tak ada di negeri kita, apakah mengambil terdekat atau dari yang menyerupai di sini, ataukah masih menggenggam keasliannya? 3. Dan bagaimana cara menyesuaikan kejiwaan sampean dengan karya yang diterjemahkan, misalkan musim dingin / hujan salju, yang tentu berbeda tangkapan perasaan / penerimaan dengan orang yang hidup di garis katulistiwa? Sementara ini dulu Mbak Nunung Deni Puspitasari, nantinya dilanjut yang lain... suwon sanget.
 
Nunung Deni Puspitasari: Hai Mas Nurel Javissyarqi, terimakasih untuk pertanyaannya, aku coba jawab satu persatu ya.
1. Bisa perlu, bisa tidak. Saya pernah menerjemaahkan cerpen Anton Chekov karena saya tertarik dengan ceritanya. Saya tidak mengenal secara mendalam tentang Anton Chekov. Sedangkan karya Evald ini, mau tidak mau saya menjadi tahu tentang penulis. Disebabkan proses interaksi selama menerjemahkan karya. Pengalaman saya bertemu Evald Flisar itu kebetulan saat saya sedang mengikuti program hibah kelola untuk magang penyutradraan di Teater Koma 2011. Selanjutnya komunikasi saya melalui email dan atau whats app. Untuk berdiskusi tentang karyanya. Dari proses ini mau tidak mau saya jadi mengerti riwayat Evald. Dan juga memudahkan saya dalam proses menerjemahkan. Menurut saya begitu, Mas.
 
2. Saya pernah menerjemahkan Planet Kesebelas yang menceritakan ttg 3 gelandangan yang membayangkan makan daging babi sebagai daging yang familiar untuk menggambarkan kemewahan. Hal ini saya diskusikan dengan Evald juga. Bahwa di Indonesia daging ayam bisa menggambarkan kemewahan itu. Jika daging babi yang saya munculkan konteksnya menjadi jauh.
 
3. Selama ini jika ada hal yang belum saya ketahui, saya lebih sering membaca buku referensi, berita atau informasi atau sumber yang berkaitan. Setelah saya membaca referensi saya harus berani menginterpretasi dan menafsirkan meskipun mungkin penafsiran saya tidak terlalu pas. Salah satu kelebihan saya bisa berinteraksi secara langsung dengan penulis juga cukup membantu dalam proses penyesuaian kejiwaan tersebut. Begitu Mas Nurel Javissyarqi.
 
Nurel Javissyarqi: terima kasih Mbak atas jawaban2nya yang sungguh berarti, suwon sanget.
 
Nunung Deni Puspitasari: Nuwun sami, Mas.
 
Sigit Susanto: Menarik ini, improvisasi daging yang dianggap mewah di Slovenia itu daging babi, sebaliknya di kita daging ayam. Kita tanyakan Mas Anton Kurnia yang sering kreatif berimprovisasi nama tokoh asing menjadi nama Indonesia, gimana mas Anton Kurnia menurut pengalaman sampean? Suwun.
 
Anton Kurnia: Mas Sigit, dalam teknis penerjemahan ada istilah yang disebut domestikasi. Bahasa sasaran lebih diutamakan ketimbang bahasa asal agar terjemahan lebih bisa dipahami oleh pembaca. Saya kira yang dilakukan Mbak Nunung itu sah-sah saja dan beralasan demi hasil terjemahan yang komunikatif dan kontekstual.
 
Nunung Deni Puspitasari: Terima kasih banyak ilmunya, Mas. Termasuk pendekatan arti, ya Mas. Misal dalam bahasa Inggris : Hole yang diartikan lubang, tapi demi kontekstual cerita saya mengubahnya menjadi kubangan. Itu bisa disebut dengan apakah, Mas. Apakah termasuk domestifikasi atau yang lainnya?
 
Anton Kurnia: Mbak Nunung, karena saya tidak membaca teksnya, saya hanya bisa meraba konteksnya. Saya kira penerjemah boleh menafsirkan bahwa "hole" dalam konteks itu lebih tepat diterjemahkan sebagai "kubangan" yang lebih spesifik, ketimbang "lubang" yang lebih umum. Toh maknanya tidak bergeser. Dalam hal ini, saya kira ini lebih ke soal pilihan diksi yang lebih tepat.
 
Nunung Deni Puspitasari: Baik, Mas. Terimakasih banyak. Senang sekali bisa mendapat ilmu dari njenengan. Mohon izin jika suatu saat ada yang ingin saya tanyakan tentang penerjemahan, saya diperbolehkan "ngrusuhi" njenengan. Salam.
 
Anton Kurnia: Terima kasih, Mbak Nunung. Kita saling belajar. Salam.
 
Sigit Susanto: Mantap Mas Anton Aufklärungnya. Ada rupanya istilah domestikasi. Sip... Mas Anton Kurnia, nanti ikut berbagi pengalamannya yang sudah segunung dlm dunia terjemahan ya...? terima kasih
 
Anton Kurnia: Sama-sama, Mas Sigit.
 
Nunung Deni Puspitasari: Iya Mas Sigit, Mas Nurel, please ada juga sharing proses bersama dengan Mas Anton Kurnia.
 
Aliem Bakhtiar: Menunggu Anton Kurnia berbagi pengalamannya.
***
 
Eswe: Sejauh mana Mbak Nunung merasakan relasi antara sastra dan teater yang anda lakoni?
 
Nunung Deni Puspitasari: Kayak membalik dua sisi dalam satu koin mata uang. Saling berhubungan dan berelasi. Tak berharga kalau tidak dihayati keduanya, Mas.
 
Hasta Indriyana: Sebagai istri penulis cum teaterawan, spt apa pola komunikasi kalian yg berkaitan dg karya?
 
Nunung Deni Puspitasari: Saya awal sekali belajar nulis sama Mas Moko (Satmoko Budi Santoso), Mas. Jadi kalau soal karya penulisan saya lebih banyak bertanya. Kadang meminta pendapat untuk referensi buku yang saya baca.
 
Agus R. Subagyo: 1. Lebih dulu mana Mbak Nunung menjalani antara berteater dan menulis?
2. Apa yang Mbak Nunung lakukan saat mengalami kesulitan dalam menulis? Salam kenal dari petani Nganjuk.
 
Nunung Deni Puspitasari: Salam kenal Agus R. Subagyo. 1. Saya lebih dulu menjalani teater Pak. Baru kemudian mempelajari menulis. 2. Kalau soal penerjemahan saya butuh waktu lama untuk menafsirkan konteks yang menurut saya sesuai. Yang saya lakukan kemudian mencari referensi yang bisa mendukung penafsiran tersebut.
***
 
Sigit Susanto: Mbak Nunung Deni Puspitasari, saya ingin tanya 1) Apa daya tarik terbesar shg sampean menerjemahkan karya Pak Evald ? 2) Mengingat sampean kenal pengarangnya secara langsung, seperti apa diskusi mencari padanan istilah, metafor dan diksi atau yg lain? 3) Bagaimana sistem copyrightnya, karena sampean hrs berhubungan dengan buku yang dicetak dlm bhs Inggris, kukira itu terjemahan, sebab Pak Evald kukira menulis dalam bahasa Slovenia. 4) Apakah sampean pernah diundang ke Slovenia, terkait buku terjemahan sampean. Terima kasih.
 
Nunung Deni Puspitasari: Maaf Mas Sigit, slow respon. Saya coba jawab.
1. Pertama, tentu saja karena naskah Evald pernah dipentaskan Teater Koma (sebuah kelompok Teater di Jakarta yang jika memilih naskah selalu tidak main-main), dalam pikiran saya berarti karya2 Evald ini cukup berkualitas untuk saya pelajari. Kedua, yang pertama ditawarkan oleh Evald kepada saya adalah naskah teater juga, saat itu saya tertarik untuk mengenal refesensi naskah di luar yang saya ketahui. Ketika ditawari novel saya semakin tertarik dengan kisah-kisah yang menantang saya untuk lebih banyak mengunyah bacaan-bacaan di luar fiksi seperti filsafat timur, dan psikologi juga belajar memahami perspektif karya sastra Barat. Ketiga, karya- karya yang diberikan Evald kepada saya, seakan sudah diperhitungkan dengan karakter saya sebagai pemain teater. Ini ditunjukkan pada karya-karya yang di tawarkan kepada saya tidak hanya kuat pada pemaparan karakter tapi juga pemaparan kisah-kisah keseharian yang menarik.
 
2. Seperti di awal saya sampaikan, saya pernah mengalami berdiskusi dengan Evald tentang daging babi yang saya ganti daging ayam. Nah, kasus lainnya, di novel Kata-Kata di atas Awan ada bab berjudul "In Vino Veritas" yang kemudian saya ketahui itu sebuah frasa berasal dari bahasa latin yang artinya "Ada kejujuran di balik anggur" yang jika didalami lagi artinya "orang yang berada di bawah pengaruh anggur (alkohol) akan mengatakan kejujuran. Namun saat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia saya merasa istilah itu menjadi kurang kuat, saya memutuskan untuk menggunakan frasa itu apa adanya, meskipun kata itu belum akrab (namun jika digogling sudah ada). Maka, saya berdiskusi dengan Evald untuk tetap menggunakan frasa tersebut menjadi salah satu judul bab.
 
3. Saya mendapatkan hibah untuk penerjemahan ini, yang diupayakan oleh Evald. Jadi copy right buku milik saya, hanya saja saya serahkan pada penerbit dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kontrak.
 
4. Untuk penerjemahan novel belum, Mas. Untuk karya terjemahan naskah teater "Planet Ke Sebelas", pementasannya pernah ada rencana untuk dipentaskan ke Slovenia, tapi belum jadi. Karena ada situasi yang tidak memungkinkan. Itu jawaban saya Mas Sigit, terima kasih.
 
Sigit Susanto: Sudah cukup, jawabannya memuaskan. Salut.
 
Nunung Deni Puspitasari: Terima kasih, Mas.
***
 
Sigit Susanto: Apakah sudah ada rencana menerjemahkan karya pengarang lain, selain pak Evald dari Slovakia? Apakah sampean sudah pernah mencoba mempelajari bahasa Slovakia? Mengingat karya terjemahannya dari pengarang sana.
 
Nunung Deni Puspitasari: Dulu pernah menerjemahkan cerpen, seperti karya Anton Chekov dan O Henry (pernah dimuat di Jawa Pos, dan majalah Horizon). Tapi untuk novel, belum ada pikiran menerjemahkan penerjemah lain. Belum pernah mencoba belajar, Mas. Sementara masih pakai bahasa Inggris kalau berkomunikasi.
 
Indra Intisa: Bagaimana cara menerjemahkan sajak-sajak berima, supaya ketika berubah bahasa tidak mengubah esetetikanya, baik bentuk maupun bunyi?
 
Nunung Deni Puspitasari: Indra Intisa, Halo Mas, sejauh ini saya belum pernah menerjemahkan sajak. Tapi menurut saya, sajak memang butuh perhatian extra. Layaknya lirik lagu, banyak idiom yang perlu diperhatikan. Yang jika diterjemahkan secara umum, akan menghilangkan estetikanya. Jadi memang perlu lebih extra untuk mencari padanan kata yang pas (sesuai).
***

http://sastra-indonesia.com/2021/01/obrolan-menerjemahkan-karya-sastra-bersama-nunung-deni-puspitasari/

No comments:

Post a Comment