Albert Camus lahir 7 Nov 1913, genap 100 tahun pada 7 Nov 2013
Sigit Susanto
Pes – Albert Camus
Total: 350 hal
Novel ini menurutku lebih ringan dibanding „Orang Asing“nya Camus. Alkisah, sebuah kota kecil bernama Oran di pantai Algeria ditemukan banyak tikus di mana-mana. Di tangga apartemen, di pabrik bahkan ratusan tikus sudah dalam keadaan mati. Dr.Bernard Rieux mulai risau, bahkan istrinya sendiri kedapatan sakit. Rieux bersama kawan kerjanya mulai mengadakan antisipasi agar tak timbul epidemi dari tikus-tikus mati itu. Diadakan kampanye pemberantasan tikus.
Sampai di sini,…aku ingat pengalaman kecilku dulu ikut gebuki tikus di sawah di Jawa yang ratusan jumlahnya, sebab petani tak berhasil panen. Tikus hasil gebukan itu menggunung, ada yang dibakar, ada pula yang di goreng oleh warga setempat.
Kembali ke kota Oran, sudah berjatuhan korban, seorang pasien dibawa ke rumah sakit. Pasien itu tubuhnya panas sampai 38°C. Akhirnya dia meninggal.
Camus masih belum beranjak ke plot baru. Situasi chaos masih berada di kota Oran. Dr.Rieux masih menjadi sang tokoh utama. Camus memunculkan banyak sekali nama baru. salah satu yang menonjol bernama Raymond Rambert, seorang jurnalis untuk media di Paris. Rambert meliput peristiwa demi peristiwa untuk konsumsi pembaca di barat. Korban makin bertambah dalam tempo 5 minggu ada 321 korban jiwa. Penyakit Pes sudah diyakini wabah yang menularkannya.
Penduduk Oran yang berjumlah 200.000 mulai gusar. Rencana kota itu akan ditutup. Pejalan kaki makin berkurang, toko-toko mewah utamanya tutup lebih dini. Sementara di rumah sakit, kondisinya mencekam. Kiriman serum dari Paris terlambat. Dr.Rieux masih bersitegang dengan pegawainya.
Nah,... sampai di sini. Pernah aku bicarakan tentang Camus pada salah seorang kawan. Kawan itu memberitahu, pernah baca catatan harian Camus, yang ditemukan di dalam mobil Camus, saat Camus kecelakaan dan meninggal bersama kawan dari penerbitan. Kata kawanku, Camus kecil tidak disekolahkan oleh orang tuanya yang miskin. Untung ada guru SD yg membayari sekolah Camus. Hingga Camus terus sekolah, sebab dari kecil hidup pada kemiskinan di Algeria. Camus sendiri tipe anak yang cerdas sejak kecil.
Selanjutnya Dr.Rieuk memberitahu agar kota Oran segera dikosongkan. Kondisi kota makin tidak memungkinkan lagi dari dampak epidemi pes ini. Dalam 94 hari sudah ada 124 korban jiwa. 10 dokter dapat jatah mengurus 100 pasien. Sungguh tidak seimbang.
Camus di sini pakai ukuran negeri Prancis yang maju. Bahkan seorang pastor juga ikut berkotbah dalam suasana mencekam itu; tiada Tuhan yang lebih berkuasa. Tapi jurnalist Rambert tak mau meninggalkan kota. Dia minta surat khusus dari Dr.Rieux agar bisa tetap tinggal di Oran. Walau istri Rambert berada di Paris.
Camus menggambarkan peristiwa ini pada tahun 1940-an, sehingga atmosfer Prancis-Algeria masih kental. Camus masih terus menonjolkan tokoh Dr.Rieux dan berkutat di Oran. Lalu muncul gagasan membentuk pasukan sanitasi dari warga sipil, agar bisa mengkarantinakan pasien pes. Dr.Rieux mengadakan ceramah pada mayarakat tentang tema pes pada sebuah ruangan bar Spanyol yang kecil. Terakhir Oran sedang dilanda musim kemarau panjang.
Ada kalimat yang menarik dari Camus. Dia nulis; Orang tua tak begitu takut mati, ketimbang yang muda. Kemudian dia tulis lagi; Menjelang pukul 06.00, perlahan kota menjadi sepi, dimana debu dan pes mulai beraksi.
Pada akhir cerita ini. Camus sering menghubungkan penyakit pes yang terjadi 200 tahun silam di Prancis selatan dan Marseille, juga merenggut banyak korban.
Kejadian baru lagi adalah pastor Panaleaux beserta 3 kakaknya meninggal, setelah dia aktif bergabung dengan pasukan sanitasi yang dibentuk dari warga sipil. Kota Oran dinyatakan tertutup untuk orang luar. Anak muda bernama Tarrou ingin mengenal lebih dekat Dr.Rieuk. Maka Rieux dengan monolog panjangnya berkisah asal mulanya. Kota Oran yang lelah karena petugas kremasi saja sibuk bakar mayat terus menerus. Ditambah kejadian lagi, tokoh Cottard, kawan Rieux bunuh diri dengan pistol, karena penyakit pesnya.
Pada akhirnya terjadi penurunan drastis akan penyakit pes. Warga bergembira dan mulai percaya diri masa depannya. TV, Koran memuat berita selesainya drama pes yang brutal dan mematikan ratusan manusia. Timbul gagasan warga untuk mendirikan tugu peringatan, bahwa pernah terjadi musibah pes tersebut. Tercatat masa penyebaran pes dan musibah itu dari April sampai Februari.
Camus menulis; pes memang sudah pergi, tapi setiap waktu petaka akan datang lagi menempel pada meubel, pakaian, kamar, kertas dan koper. Ungkapan akhir Camus ini bisa bernuansa filosofis ironis, bila dikaitkan pada masa konsumerisme zaman globalisasi kini. Camus menambahkan, meskipun monumen didirikan, nama tokoh-tokoh pes yang meninggal seperti Cottard dan pastor Panaleux akan terlupakan.
Ada pembuka paragraf yang aku kira mirip dengan cara Flaubert:
Pada fajar di hari yang indah bulan Februari itu.
Flaubert sering mengawali paragraf baru dengan ucapan, misalnya:
Rabu, minggu ketiga bulan Oktober.
Catatan Kecil:
1. Tak kusangka ending cerita semi happy-end. Artinya musibah berakhir dengan ditandai monumen pes. Setidaknya Camus masih memberi harapan warga untuk hidup lebih bergairah lagi. Monumen sebagai peringatan dan pengingatan.
2. Aku mempertanyakan; apa fungsi jurnalis Rambert di situ sebenarnya? Bila dia tak melakukan kegiatan jurnalistiknya di Paris?
3. Sosok Dr.Rieux sangat menonjol. Sehingga nuansa desa dan kondisi masyarakat sekitar Oran nyaris lepas dari cerita.
4. Camus berkutat di kota Oran dan penyakit pes melulu. Ternyata ia dan keluarganya pernah tinggal di Oran beberapa bulan.
***
6 November 2013.
https://sastra-indonesia.com/2020/06/2013-100-tahun-albert-camus-pes/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Labels
Adin
Aguk Irawan Mn
Akhmad Sofyan Hadi
Albert Camus
Andre
Annie Tucker
Anton Kurnia
Anwar Holid
APSAS (Apresiasi Sastra)
Audrian F
Baca Puisi
Bahrul Ulum A. Malik
Berita
Bernando J. Sujibto
Birgit Lattenkamp
Buku Pohon
Cak Bono
Catatan
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Didin Tulus
Dody Yan Masfa
Dwi Fitria
Eka Kurniawan
Endah Sulawesi
Ernest Hemingway
Esai
F Rahardi
F. Rahardi
Franz Kafka
Gaya Lufityanti
Gm. Sukawidana
Gunoto Saparie
Gus Noy
H Tanzil
Haris Firdaus
Heri CS
Herri Chandra Santoso
Iman Budhi Santosa
Indah Survyana
Interview
James Joyce
Jerman
Johannes Sutanto de Britto
Kampung Ciseel
Karl Marx
Kedai Roti
Kemah Sastra
Komunitas Lereng Medini (KLM)
Koskow
Kurnia Effendi
Latief S. Nugraha
lockdown
Lucern
Lucern Kota Mati
M. Lukluk Atsmara Anjaina
Mas Palomas
Metamorfosis
Milan Kundera
Muafiqul Khalid MD
Muhidin M. Dahlan
Nezar Patria
Nunung Deni Puspitasari
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Assyhadie
Pawang Surya Kencana
Perdebatan
Petik Puisi
Proses Kreatif
Puisi Terjemahan
Pulau James Bond
PUstaka puJAngga
Resensi
Rinto Andriono
Ronny Agustinus
Roso Titi Sarkoro
Ruth Martin
Sabine Müller
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Setia Naka Andrian
Setiyo Bardono
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sulistiono
Surat Ti Bali
Swiss
Tiya Hapitiawati
Triyanto Triwikromo
Ulysses
Umbu Landu Paranggi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayang di Salju
Wayang James Joyce
Yogas Ardiansyah
Yonathan Rahardjo
Youtube
Yusri Fajar
No comments:
Post a Comment